Saya berpikir sejenak dan memutuskan tidak memilih keduanya.
“saya pilih jadi Vespa!”
Teman saya bertanya kenapa saya memilih Vespa, padahal Vespa
tidak ada di dalam pilihan yang dia utarakan. Akhirnya saya menjelaskan kenapa
saya memilih menjadi kendaraan roda dua buatan Italia (walaupun sekarang banyak
Vespa yang dibuat di Vietnam) tersebut.
“Harley terlalu mahal, terlalu sempurna, sedangkan gw kan
manusia, manusia nggak ada yang sempurna. Kalaupun akhirnya ada yang mendapatkan Harley, ntar perawatannya ribet, mahal,
nggak bisa di bawa ke segala medan. Emang sih pasti di eman-eman* sama yang punya, tapi ntar malah di kekang. Kalau Mio,
cocok buat dipakai sehari-hari, perawatannya mudah dan murah, tapi udah umum,
banyak yang punya Mio. Gw kan tidak mau menjadi “umum” dan dikonsumsi umum. Kalau Vespa di tengah-tengah laaah… Bisa
dipake sehari-hari, digemari sepanjang waktu, perawatannya ga mahal banget tapi
ga murah juga, kece pula walopun Vespa jadul juga masih di senangi. Cocok kan
sama gw?,” saya menjelaskan panjang lebar.
Saya bertanya balik, teman saya menjawab, “gw milih Harley.
Nggak semua orang bisa mendapatkannya, dan perawatannya pasti sangat terjaga
jadi gw lebih dijaga.”
“tapi kalau sehari-hari, masa’ lu pake harley? Misalnya belanja
ke pasar gitu masa pake harley? ”, sanggah saya. Ia berpikir sejenak
“tapi saya tetap cinta Harley dan ingin menjadi Harley!!!” teman
saya tetap bersikukuh dan diskusi kita tentang motor pun berakhir.
Ah tapi tetap saja, menjadi Vespa menurut saya lebih
menyenangkan.
-Cerita ini memang nyata, tapi tidak ada unsur curhat
colongan, hanya diskusi absurd.
*) di sayang-sayang.
No comments