Perempuan Seberang dan Sebatang Rokok


source : framingpainting.com
Jumat, Jam 8 malam. Aku duduk di dalam sebuah kedai kopi bilangan Jakarta,  menghilangkan penat. Tak ada siapapun yang kutunggu, hanya ingin membunuh waktu.


Judulnya memang kedai kopi, tapi aku bukanlah pecinta kopi. Seperti biasa, aku memesan segelas camomile tea, membuka pematik dan menyulutkan ke sebatang rokok yang kuselipkan ditengah bibir penyangga kumis yang mengerucut. Sudah lama kubiarkan kumis dan jambang ini tumbuh sesuka hati mereka di wajahku. Aku merasa tampan dua kali lipat dengan kumis dan jambang ini. Ah, ini hanya untuk menumbuhkan kepercayaan diri saja.

Setiap jumat, seorang pianis selalu tampil membawakan musik-musik instrumen. Kali ini,  dentingan lagu My Way sayup-sayup mulai menyapa telingaku. Sendu ketika sendiri.

Didepanku, aku melihat seorang hawa duduk seorang diri, melambaikan tangan ke arah pelayan, memesan dan menunggu. Mata kucingnya menatapku. Bola matanya berwarna coklat, senada dengan rambut ikalnya. Tiga detik ia menatapku.

Ia duduk selang satu meter di depanku. Kita bertatapan, tanpa ekspresi tetapi saling berbicara. Ia sederhana dan hampir sempurna, pertama menatapnya aku melihat kehangatan yang terpancar.

Ia selalu mengetuk jemarinya, seperti sedang menunggu sesuatu. Ah ya, ia sedang menunggu pesanannya dan akhirnya datang juga. Bibirnya yang secerah apel menyeruput minuman dari dalam cangkir putih yang dibawakan seorang pelayan. Warna yang senada dengan baju yang dikenakannya.

Aku sudah menghisap rokokku empat kali, pianis itu hampir menuju klimaks. Begitu pula aku. Ingin aku menghampiri dan mengajaknya berbincang.

Ia kembali menatapku, tersungging senyuman kecil yang ia lemparkan kepadaku. Bukan senyuman nakal, hanya keramahan yang aku lihat.

Dua hisapan lagi, dan aku akan beraksi. Entah kenapa pendingin ruangan di sini tiba-tiba membuat tubuhku beku. Kupu-kupu mulai merasuk dalam perutku. Tapi, bagaimana caranya aku membuka pembicaraan? Aku bukan orang yang banyak cakap.

Isapan terakhir, aku membusungkan dada, kakiku siap melangkah kemudian terhenti. Serasa ada batu besar yang mengganjal langkahku.

Seseorang  datang ke arah ku. Lekuk tubuh sempurna, dengan kaus putih dan celana jeans, perempuan jelita berwajah pucat itu berjalan belok menghampiri kawannya yang duduk di seberangku. Ia mendekap perempuan itu, mencium kening dan bibirnya.

Mereka pergi. Lagu pun berakhir.

No comments