Prewedding di Tengah Aksi Demonstrasi

oleh : Pulung Pribadi
Soal foto “prewedding”. Bisa sederhana. Bisa bikin pusing.

Wacana foto pra-nikah sudah muncul di awal-awal ketika kami memutuskan menikah. Bagi saya, foto pra-nikah tak mesti disiapkan secara khusus. Dalam perjalanan kami, ada beberapa foto rekaman perjalanan berdua Reka ke beberapa tempat. Meski tak diniatkan sebagai koleksi foto jelang nikah, tetap bisa dimaknai sebagai foto “pre-wed”.



Beda lagi dengan Reka. Dia menginginkan satu seri foto yang proses pemotretannya dirancang khusus. “Konsepnya sedapat mungkin berbeda dengan foto prewed yang sudah banyak ada,” pintanya.

“Mmm... mau yang beda?! Kamu mau bikin foto pre-wed di tengah demonstrasi?!” usul saya. Hari itu tahun 2015. Jelang perayaan hari tani nasional, 24 September. Sebagaimana biasanya, hari itu saya dan kawan-kawan akan berpartisipasi dalam aksi massa petani.

Reka mengangguk. Tapi, supaya tak diamuki kawan-kawan sendiri, saya menghubungi sejumlah kawan di Konsorsium Pembaruan Agraria. Minta izin “nyolong moment” memanfaatkan aksi hari tani di depan Istana Negara sebagai setting pemotretan jelang nikah. Kawan-kawan menganggap itu bukan masalah.

Persoalan kedua, saya memikirkan siapa fotografernya. Di kalangan penggiat pembaruan agraria dan aktivis lingkungan hidup ada banyak kawan yang punya kemampuan fotografi mumpuni. Tapi mereka pasti akan sibuk dengan pendokumentasian aksi para petani. Tak bisa dimintai bantuan.

ARA Photography

Di puncak kebingungan mencari fotografer, saya menepak kening sendiri. Kenapa bisa lupa adik sendiri, Piba (Pulung Pribadi). Dia dan istrinya, Rini, sepasang fotografer dan videomaker handal yang membangun bisnis ARA photography. Tapi meminta jasa profesional mereka, saya tak akan berani. Maka, ketika sowan ke Lebakbulus, saya minta izin Rini untuk menculik suaminya.


Street photography menjadi kesepakatan kami. Dengan begitu, tak perlu banyak alat dan tak usah banyak kru yang terlibat. Kru dadakan kami minta Syahroni Yunus, karib sepermainan di Institut Agroekologi Indonesia.


Maka jadilah, foto pre-wed di tengah lautan massa aksi kaum tani di depan istana merdeka. Hadap-hadapan dengan barisan polisi. Sang fotografer sendiri merasa antusias. Dia belum pernah menemukan “klien” yang meminta dibikinkan foto pre-wed berlatar demonstrasi.





Untung ada ARA. Terima kasih Rini dan Piba.

Rencana Tak Jadi

Sebenarnya, Reka berharap ada dua seri foto pre-wed. Seri kedua akan mengambil tempat di kebun kecil kami, Cijapun, pedalaman Sukabumi. Gerry Sugiran, karib dari SukabumiToday sekaligus pemilik akun twitter @pelancongID, bersedia direpotkan untuk memotret kami di kawasan pedalaman ini.

“Aku minta dibayar ya... dengan semangkuk kolak pisang Cijapun, om!” tawar Gerry riang. Sayang, tak kesampaian. Reka kesulitan mengambil cuti. Seri pre-wed itu dibatalkan.

Sekitar 2 bulan jelang hari pernikahan, kebetulan saya sedang ada tugas mengunjungi organisasi tani di Gunung Kidul, Yogyakarta. Reka juga kebetulan sedang ada sedikit libur karena memutuskan pindah tempat kerja.

Sesuai perhitungan, seusai tugas di Gunung Kidul, saya akan punya satu hari longgar sebelum kembali ke Jakarta. Dan reka tak keberatan menyusul ke Yogya untuk menikmati satu hari bersama di kota Pelajar itu.

Kebetulan, salah satu adik kami, Wibi, sedang tinggal menetap di sana bersama Ella, istrinya. Dia fotografer bagus dan tak keberatan dimintai bantuan memotret kami selama di Yogya. Sore Jum’at, tanggal 4 Maret, Reka tiba dengan kereta di Stasiun Tugu. Wibi sudah menunggu.

Sayang, sore itu juga, belum sempat berjumpa Wibi dan Ella, kabar datang dari Prabumulih. Ayah saya meninggal dunia. Kami mesti segera mencari tiket pesawat menuju Palembang.

Kesempatan untuk pengambilan foto pre-wed lain datang dari tawaran sepasang karib. Gugun dan Lutfi. Keduanya kini lebih dikenal sebagai pembuat film dokumenter. Sayang, sekali lagi waktu sudah tak banyak. Tapi kami kami menerima tawaran mereka untuk memotret di hari pernikahan.

# # #

[Bersambung ke kisah berikutnya]






3 comments