Source |
A..ku cinta... J.A.K.A.R.T.A!
A..ku cinta... J.A.K.A.R.T.A!
(Kutipan
lagu C’mon Lennon, J.A.K.A.R.T.A)
Ibukota negara Indonesia ini sebentar lagi ulang tahun. Dia sudah
menua dengan usianya yang hampir 500 tahun. Seiring dengan usia yang semakin
bertambah, ternyata Jakarta malah tampak semakin “muda”. Pembangunan gedung
bertingkat kian pesat, bahkan sampai tak ada lagi lahan terbuka hijau yang
luas. Transportasi umum memenuhi jalanan Jakarta, namun masih belum seimbang
dengan banyaknya jumlah kendaraan pribadi yang menjadi penyumbang kemacetan. Mal-mal
megah menjulang menyajikan apa yang diinginkan, di sisi lain pemukiman kumuh
hidup tersingkirkan. Warga Jakarta yang semakin produktif dan
kreatif, akan tetapi mereka mengemas “budaya” menjadi satu bentuk kapitalisasi model lain.
Cerita lama orang-orang yang hidup di Jakarta ini memiliki
dua pandangan berbeda. Benci tapi rindu, seperti lagu Endang S Taurina. Mereka merasa
bosan dengan Jakarta lautan polutan, mereka penat dengan kemacetan yang selalu
menghambat dan mereka juga sadar akan keanekaragaman penduduk yang menambah
hiruk pikuk. Akan tetapi, apabila mereka diminta untuk tinggal di luar Jakarta,
sebagian besar dari mereka akan berkata “hmmm...
mikir-mikir lagi deh!”.
Jakarta itu seperti narkoba. Sekali masuk, sulit keluar dan
membuat orang-orang yang sudah terjerumus di dalamnya seolah kecanduan serta
memiliki ketakutan untuk lepas dari kota ini. Bahkan, 98% penduduk yang tinggal
di Jakarta adalah mereka yang berasal dari luar daerah. Alasan kuat karena
Jakarta “apapun bisa jadi uang”. Padahal di sisi lain, pengangguran banyak
terjadi.
Semalam saya berkumpul dengan empat teman yang tumbuh kembang
di Jakarta, walau mereka bertempat tinggal di daerah suburban. Kami berbincang
mengenai pekerjaan dan kehidupan, tiga dari mereka mengeluh mengenai
kehidupannya di Jakarta. Pertama, biaya hidup tinggi. Pemenuhan biaya hidup di
sini tidak hanya masalah kebutuhan pokok, tetapi juga kebutuhan akan gaya
hidup. Malahan, gaya hidup kadang berbanding terbalik dengan pemasukan. Kedua,
kemacetan dan polusi. Ah, lagu lama! Ketiga, banjir. Tiap tahun keluhan ini
selalu datang. Keempat, angkutan umum yang tidak pernah beres. Mulai dari bus
sampai kereta, kenyamanan akan tempat duduk itu langka ditemui.
Setelah semua keluhan dimuntahkan oleh teman-teman, saya
bertanya apakah mereka mau keluar dari Jakarta dan mereka jawab “tidak”. Karena
menurut mereka, di sinilah mereka seharusnya tinggal daripada hidup di luar
kota, luar daerah. Di sini mereka masih menemukan barang-barang bermerek yang
tidak mudah ia dapatkan di luar kota. Di Jakarta mereka masih bisa menemukan
hingar bingar kehidupan 24 jam non stop. Di kota metropolitan ini mereka merasa
diajarkan kesabaran menghadapi padatnya jalanan. Di ibukota negara mereka bebas
melakukan apa saja, walau kelompok ekstrimis juga tinggal di sini. Terakhir yang
sangat penting layaknya penduduk urban masa kini, akses internet bisa didapat
di setiap sisi dengan mudah.
Ya, Jakarta memang tak ayal bagai dua sisi mata
pedang.
[Maharani, 2015]
No comments