Paman Jubah Usang




Dua puluh tahun sudah aku menetap di rumah ini, bersama dengan seorang lelaki yang hampir lima tahun hanya bisa berbaring dan mengembangkan senyuman di atas tempat tidurku. Aku sudah tidak bisa mendengar ia berdeham dan mendengar suara decitan sepatu bootsnya di atas lantai kayu ketika melangkah. Dia sudah tidak bisa lagi pergi kemanapun dan jubah usangnya sudah ku gantungkan dengan rapi di lemari kaca. Bahkan, hamparan kebun jagung dan bunga matahari yang ia tanam di sekitar rumah sudah tidak dirawat. Tetapi aku senang, aku bisa terus bersamanya sepanjang malam.
 Aku tinggal bersamanya sejak usiaku lima tahun, ketika aku masih girang memakai sepatu vantofel warna merah yang ia berikan. Aku ingat betul, ketika Paman memberikanku sepatu itu, secara spontan aku berjingkrak seperti kelinci kedapatan wortel besar karena ia tahu seleraku. Paman Cloaky adalah satu-satunya orang yang mengisi hidupku selama ini. Seandainya Paman Cloaky tidak memungut ku dari puing-puing rumah yang sudah hancur berserakan, dari dua orang yang tergeletak bersimbah darah, mungkin hidupku saat ini memiliki ceruk yang sangat dalam. Ah, aku tak mau mengingat-ingat lagi kejadian kelam 20 tahun lalu itu. Rasanya aku ingin menyerang secara membabi buta sekelompok orang-orang sok suci yang berani menghancurkan kehidupanku dan orang tuaku.

Saat aku berusia 5 tahun, Paman masih terlihat sangat muda, ya seperti usiaku saat ini. Pertama kali aku diajaknya ke rumah kayu di antara perkebunan jagung, aku melihat sosok lelaki yang sederhana, tubuh ringkih jangkung seperti galah berjalan, rambutnya lurus hampir selurus papan terurai sebahu dan bibirnya yang hanya segaris, bahkan saat ia terdiam aku tak bisa melihat bentuk bibirnya. Ia selalu melengkungkan garis itu naik ke atas. Ia tidak tampan dan terlihat kumal, tapi aku tahu auranya dapat memikat perempuan yang berada di dekatnya.

Selama aku bersama Paman Cloaky, ada beberapa perempuan mencoba mendekatinya. Aku ingat, saat itu usiaku beranjak 10 tahun.

Seorang wanita muda dengan kulit sewarna susu, Ivory namanya, tak henti-hentinya ia mencoba memikat Pamanku. Setiap hari ia selalu datang ke ladang jagung milik Paman, membawakannya makan siang. Ada juga Adrielle, seorang wanita keturunan bangsa Nordik dengan wajah pucat dan mata biru langit yang bersinar. Ia adalah seorang penulis puisi. Setiap hari ia selalu mengirimi Pamanku puisi-puisi cinta musim semi. Liu, wanita asal negeri bambu bertubuh gempal dan matanya yang hanya terlihat seperti garis tidak pernah absen mengundang Pamanku datang ke pertunjukkan teater yang diperankannya, mengajaknya berpesta di tengah kota dan sempat aku melihat ia berusaha mencium bibir Pamanku. Mereka semua cantik dan mendekati sempurna.

Aku tak tahu, hati Paman terbuat dari apa. Sepertinya es kutub telah menggelayuti perasaannya terhadap perempuan. Ia baik terhadap setiap perempuan yang mendekatinya, tetapi ia tidak pernah menanggapi maksud dari mereka semua. Ia bersikap dingin, seakan dirinya tak memerlukan seorang perempuan yang mengisi kehidupannya.  Kehidupan paman memang tak bisa diterka. Kadang ia senang berlama-lama berada di dalam rumah bersamaku, membuat masakan sup jagung kesukaanku dan menceritakan beberapa dongeng karangannya. Sekalipun aku berbuat salah, ia tak pernah mau memarahiku. Tetapi, ada waktunya ia pergi meninggalkan rumah berminggu-minggu dan meninggalkanku sendiri, membawa jubahnya yang berwarna coklat karat entah kemana. Aku benci ketika ia tiba-tiba pergi meninggalkanku begitu saja, walau kadang saat ia pulang, ia membawakanku beberapa barang yang aku suka.                  

Saat usiaku menapak dua belas, bulu-bulu halus berwarna salju diantara tumpukan arang di wajah dan rambut Paman mulai tumbuh. Semakin tua dia, aku semakin terpesona dan sangat senang apabila ia selalu dekat denganku.

Ketertarikanku dengan lawan jenis semakin  meluap. Aku mulai mengkhayal berjalan bersama seorang lelaki, berjalan diantara ladang jagung yang sedang panen dan bunga matahari yang bermekaran indah. Aku ingin dibelai dan dicium seorang lelaki. Seorang lelaki yang selalu hadir dalam mimpiku.

Beberapa lelaki berusaha mendekatiku, tetapi aku tidak pernah mau dengan mereka. Aku tidak pernah tertarik dengan lelaki yang usianya sepantar denganku. Kadang aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Tahun ke tahun, ketika aku melihat Paman, aku mempunyai perasaan yang janggal. Perasaanku padanya bukan hanya hubungan antara seorang keponakan yang menyayangi pamannya, tapi seolah sebagai seseorang yang mendamba kekasih.
 Walau mulai menua, Pamanku masih saja didekati oleh perempuan-perempuan. Aku mulai risih dengan kedatangan mereka, apalagi yang terlihat sangat mengharap Paman menjadi kekasihnya. Aku juga cemburu melihat Paman yang terlalu baik terhadap mereka, bahkan rasanya aku ingin menyingkirkan perempuan-perempuan itu.
Perasaanku betul-betul tak terkendali. Paman masih senang memelukku dan menganggapku sebagai keponakannya, tapi sudut pandangku menginginkan hal yang lebih. Aku mencintai Paman, seperti seorang kekasih. Saat aku melihatnya bertelanjang dada ketika berkebun, dengan peluh menetes di tubuhnya dan rambut panjang Paman berkibas terkena angin adalah daya rangsang yang membangkitkan birahiku. Aku memeluknya dari belakang, ia berhenti mengayuh paculnya. Ia membalikkan badan dan kami saling berpandangan. Bibirku kelu untuk mengeluarkan kata-kata. Ia hanya bertanya “ada apa?” dan tanpa kusadari, aku telah melekatkan bibirku di bibirnya. Ia tak berkutik, aku menikmatinya.
Aku selalu ingin merasakan hal itu kembali dan Paman tidak pernah keberatan. Aku tak peduli apakah ia merasakan seperti apa yang kurasakan, tapi aku selalu menikmati setiap detik ia memelukku, mengusap rambutku dan aku berusaha kembali melekatkan bibirku di bibirnya. Dan Paman tahu, aku sudah bukan anak perempuan yang ia temui dua puluh tahun lalu.
Semakin aku merasa mencintainya, semakin aku tidak ingin melihat Paman bersikap ramah dan menerima setiap perempuan yang masih selalu datang menemuinya. Aku juga tidak mau Paman meninggalkanku dengan membawa jubah itu. Aku pernah menyembunyikan jubah Paman, ketika aku tahu ia akan pergi besok pagi. Ia mencari-cari jubah itu dan menuduhku menghilangkan jubah kesayangannya. Kali pertama aku melihat Paman Cloaky betul-betul marah kepadaku hanya gara-gara jubah itu. Ia tetap akan pergi walau tanpa jubah itu, tetapi aku memaksa agar ia jangan meninggalkanku. Ia tidak menggubris permintaanku dan tetap berkemas.
Saat itulah aku merasa harus bertindak sesuai dengan keinginanku, agar Paman tidak pernah meninggalkanku selamanya. Aku mengambil palu besar di dekat kamar dan menghantamkan ke kepalanya. Ia terjatuh lunglai. Aku pandang wajahnya lekat-lekat dan ku robek bajunya. Tidak hanya baju yang ku robek, dengan pisau di atas meja makan, aku berusaha merobek kulit di dadanya. Aku hanya tidak ingin ia pergi dari sisiku lagi. aku rogoh rongga dada kirinya, aku ambil sebongkah organ yang masih berdegup lemah sampai tidak lagi berdegup ketika aku potong jalur-jalur di sekitarnya. Kusimpan organ dalam itu di satu toples berisi air keras dan aku simpan di dalam kamar.
Paman, sekarang kau sudah tidak bisa lagi pergi kemanapun. Kau pasti tahu, aku seperti ini karena aku tidak ingin kau pergi meninggalkanku sendiri.
-Maharani

1 comment