Sampai saat ini aku masih bingung, Ibuku menyerah kepada dua
kata, takdir dan kodrat. Ibu selalu berkata apa yang ia jalankan dari dua tahun
lalu sampai detik ini adalah takdir yang ia terima karena memang sudah
kodratnya. Peduli setan dengan kodrat!
Ibu selalu melontarkan ucapan "jadi perempuan memang sudah kodratnya kembali ke dapur, urus rumah tangga dan melayani empunya". Bahkan, di saat si empunya berhasil membuat Ibu dimadu dan hanya bisa menerima dengan pasrah, "namanya juga takdir".
"Wanita kui Wani ditata. Wadon yo ra sah dadi wong gedhe! Ngimpi! Wis mbengi yo dadi lemek bojone," teriak Pamanku sambil tertawa puas bersama teman-teman sejawatnya. Semua laki-laki dan semua menertawakan ucapan pamanku. Aku gerah mendengarnya. Tak sengaja ucapan itu mampir di telingaku saat aku berjalan dari kamar menuju kamar mandi.
Ayahku sendiri saat ini sudah pergi entah kemana. Ia sudah pergi dengan perempuan murah yang manis tapi berbisa. Padahal, Ibu sudah rela menjatuhkan semua yang melekat pada dirinya bahkan harga diri sekalipun untuk rela menerima perilaku Ayah. Demi anak-anak, alasannya. Buah dari hasil yang didapat adalah apa yang telah jatuh hanya dilirik bagai onggok sampah atau riak di tenggorokan dan siap dibuang dari mulut begitu saja.
Ibu tidak pernah menganggap bangunan yang telah ia bangun bersama dengan Ayah dan diruntuhkan begitu saja adalah sebuah kegagalan. Ia selalu berpikir, Tuhan punya jalan lain untuk membuatnya bahagia.
Suatu waktu Ayah pernah datang kembali ke rumah, menemui Ibu dengan si gadis murah dan mungkin tidak ada harganya. Ibu masih membukakan pintu dan melayani Ayah tetapi kemudian ia pergi tanpa pamit.
Aku benci melihat drama kehidupan keluargaku. Katanya, aku tidak boleh benci dengan Ayah karena bagaimanapun juga aku bagian dari darahnya. Tapi aku benci!
Nenek bilang suatu saat lelaki menjadi empunya seorang perempuan apabila mereka sudah meminangnya dan perempuan mempunyai beberapa kewajiban yang apabila dijalankan bisa membuat si empunya itu bahagia. Maka, setinggi-tinggi perempuan adalah menguasai rumah dan dapur.
Faktanya, Ibu disia-siakan dengan perempuan murah yang manis tetapi beracun. Perempuan yang hanya bisa mencoreng bibirnya dengan gincu murah dan wajahnya bak topeng barong yang tak jelas rupanya. Perempuan yang ditemui Ayah entah darimana asalnya dan aku tak peduli. Pada akhirnya Ayah lebih memilih perempuan itu daripada Ibu.
Aku tak ingin seperti Ibu yang menyerah dengan dua kata yang selalu menggelayuti kepalanya.
Aku bertemu seorang lelaki. Tampan, mapan dan idaman para perempuan. Baik? Iya. Memberikan apa yang aku mau? Sudah pasti. Apa yang aku inginkan sebisa mungkin ia berikan. Kecuali satu, kepastian. Kepastian sampai kapan aku terus seperti ini. Dia tidak memiliki aku seutuhnya dan ia pun bukan milikku. Ia selalu pergi ketika malam telah larut dan datang ketika matahari mulai menutup diri.
Sampai detik ini bukan masalah untukku, karena baginya aku lebih dari segalanya walaupun ia bukanlah empunya untuk diriku tetapi hidupku tak segetir Ibu yang menyerah begitu saja dengan kodrat.
Ibu selalu melontarkan ucapan "jadi perempuan memang sudah kodratnya kembali ke dapur, urus rumah tangga dan melayani empunya". Bahkan, di saat si empunya berhasil membuat Ibu dimadu dan hanya bisa menerima dengan pasrah, "namanya juga takdir".
"Wanita kui Wani ditata. Wadon yo ra sah dadi wong gedhe! Ngimpi! Wis mbengi yo dadi lemek bojone," teriak Pamanku sambil tertawa puas bersama teman-teman sejawatnya. Semua laki-laki dan semua menertawakan ucapan pamanku. Aku gerah mendengarnya. Tak sengaja ucapan itu mampir di telingaku saat aku berjalan dari kamar menuju kamar mandi.
Ayahku sendiri saat ini sudah pergi entah kemana. Ia sudah pergi dengan perempuan murah yang manis tapi berbisa. Padahal, Ibu sudah rela menjatuhkan semua yang melekat pada dirinya bahkan harga diri sekalipun untuk rela menerima perilaku Ayah. Demi anak-anak, alasannya. Buah dari hasil yang didapat adalah apa yang telah jatuh hanya dilirik bagai onggok sampah atau riak di tenggorokan dan siap dibuang dari mulut begitu saja.
Ibu tidak pernah menganggap bangunan yang telah ia bangun bersama dengan Ayah dan diruntuhkan begitu saja adalah sebuah kegagalan. Ia selalu berpikir, Tuhan punya jalan lain untuk membuatnya bahagia.
Suatu waktu Ayah pernah datang kembali ke rumah, menemui Ibu dengan si gadis murah dan mungkin tidak ada harganya. Ibu masih membukakan pintu dan melayani Ayah tetapi kemudian ia pergi tanpa pamit.
Aku benci melihat drama kehidupan keluargaku. Katanya, aku tidak boleh benci dengan Ayah karena bagaimanapun juga aku bagian dari darahnya. Tapi aku benci!
Nenek bilang suatu saat lelaki menjadi empunya seorang perempuan apabila mereka sudah meminangnya dan perempuan mempunyai beberapa kewajiban yang apabila dijalankan bisa membuat si empunya itu bahagia. Maka, setinggi-tinggi perempuan adalah menguasai rumah dan dapur.
Faktanya, Ibu disia-siakan dengan perempuan murah yang manis tetapi beracun. Perempuan yang hanya bisa mencoreng bibirnya dengan gincu murah dan wajahnya bak topeng barong yang tak jelas rupanya. Perempuan yang ditemui Ayah entah darimana asalnya dan aku tak peduli. Pada akhirnya Ayah lebih memilih perempuan itu daripada Ibu.
Aku tak ingin seperti Ibu yang menyerah dengan dua kata yang selalu menggelayuti kepalanya.
Aku bertemu seorang lelaki. Tampan, mapan dan idaman para perempuan. Baik? Iya. Memberikan apa yang aku mau? Sudah pasti. Apa yang aku inginkan sebisa mungkin ia berikan. Kecuali satu, kepastian. Kepastian sampai kapan aku terus seperti ini. Dia tidak memiliki aku seutuhnya dan ia pun bukan milikku. Ia selalu pergi ketika malam telah larut dan datang ketika matahari mulai menutup diri.
Sampai detik ini bukan masalah untukku, karena baginya aku lebih dari segalanya walaupun ia bukanlah empunya untuk diriku tetapi hidupku tak segetir Ibu yang menyerah begitu saja dengan kodrat.
No comments