Belajar "Gila" di Prau

taken by : Indah


Kalau kita punya niat pasti ada jalan...

Penghujung tahun 2013 di tutup dengan sempurna. Ya, apa yang saya inginkan dari dua tahun lalu akhirnya tercapai juga. Benar juga perkataan "jangan terlalu percaya janji manusia", setelah seseorang pernah berjanji dengan saya pada akhirnya tidak dipenuhi, lebih baik saya sendiri saja yang memenuhi keinginan itu tanpa menggantungkan orang lain.

Oke, mari kita tutup sesi curhat colongan daaaaannn mari kita cerita!

Perjalanan ke Prau ini berawal dari saya yang sudah-tidak-terbendung-lagi-
keinginannya ke sana. Prau dan Dieng adalah destinasi yang sudah saya damba dari beberapa tahun lalu. Untuk Diengnya sendiri, dari dulu saya memang cinta mati sama daerah tersebut. Bahkan setiap ingin pindah rumah, saya selalu bermimpi pindah ke Dieng dan mendapat penghasilan dari berkebun kentang. Ada dua tempat di Pulau Jawa yang benar-benar menjadi list destinasi saya, pertama Dieng dan kedua Bromo.

Akhir tahun ini saya punya pencapaian, saya harus naik Gunung Prau!  Saya menghubungi kawan lama saat menjadi kuli telepon cerdas (karena wartawan online tidak menggunakan tinta, melainkan telepon ber keypad QWERTY) secara impulsif dan dia mengiyakan, setengah berada di bawah ancaman "jangan cuma wacana!". Akhirnya, kita berdua mengumpulkan orang-orang yang mau ikut. Awalnya terbentuk ber empat, tiba-tiba ada dua orang lagi ikutan tetapi saat mendekati hari H, orang-orang formasi awal malah pada mundur teratur hingga tersisa tiga orang. Tadinya, kita nekat berangkat 3 orang saja, tetapi akhirnya ada tambahan 3 orang baru lagi dan fix pergi ber enam dengan format berbeda dari awal yaitu Bagus, Mas Wandi, Indah, Ibnu, Endro dan saya.

Kita tetapkan tanggal 27 Desember 2013 berangkatnya, karena menunggu gaji kita turun dulu (biasalah buruh nunggu upah).

Hari pertama, Saya, Bagus dan Mas Wandi sudah datang terlebih dahulu di Poins Square Lebak Bulus sekitar jam dua siang. Kami mengumpulkan kebutuhan-kebutuhan yang akan diperlukan di sana. Jam 4 sore akhirnya kita menuju terminal, mencari bus, Ibnu dan Indah masih dalam perjalanan menuju terminal Lebak Bulus, sedangkan Endro yang tinggal di Bandung lebih memilih berangkat dari Bandung dan ketemuan di Wonosobo. Saat mencari bus, Mas Wandi merekomendasikan bus Sinar Jaya. Awalnya tiket bus Sinar Jaya sudah di tangan, saya kira executive ac, saat melihat bus nya, ternyata ekonomi non ac dan itu pun sudah penuh.

Saat saya naik, saya tidak yakin kita akan berangkat ke Wonosobo umpel-umpelan dan... Berdiri!! Saya langsung sigap kembali ke loket dan minta tukar dengan bus AC. Ada orang yang menawarkan bus AC (katanya) satu perusahaan dengan Sinar Jaya dan bus itu menuju Wonosobo juga. Harganya lebih mahal 30ribu memang. Dengan pertimbangan matang dan debat terlebih dahulu dengan si Bapak pemberi rekomendasi itu, alhasil saya tukar tambahlah tiket itu.

Ketika menuju bus nya, ternyata bus AC ala kadarnya. Mas Wandi meragu. Dengan instinct kewartawanannya, akhirnya dia meminta surat jalan bus tersebut dan memastikan kalau kami benar akan tiba di Wonosobo tanpa harus pindah bus. Si kernet menyetujui. Akhirnya kami berlima tetap naik bus AC ala kadarnya tersebut dan berdoa semoga lancar selama perjalanan.

Perjalanan pun dimulai...
Dari lebak Bulus sampai Cikampek, bus berjalan dengan baik. Sampailah di rest area KM 19, bus mulai manja. Kernet bilang bannya harus ditambal dan butuh waktu 2 jam. Saat itu waktu menunjukkan pukul 6 sore. Ya sudahlah ya, mau bagaimana lagi. Selama 2 jam menunggu, kami banyak berbincang ngalor ngidul di dalam bus, sesekali ngemil makanan yang telah dibeli, tetapi saya memilih untuk lebih banyak tidur demi waktu istirahat yang maksimal. Jam 8 kurang akhirnya bus jalan. Selama perjalanan saya tetap memilih untuk tidur. Sepengetahuan saya, perjalanan mulus sampai Indramayu, tempat istirahat dan makan malam sekitar pukul satu dini hari.

Satu jam di Indramayu, bus berjalan kembali. Lagi lagi saya lebih memilih kembali ke dunia mimpi. Kira-kira pukul empat pagi, bus berhenti di daerah Tegal. Bus kembali merengek, bannya minta ditambal lagi. Sebagian penumpang bus berhamburan keluar dan menunggu sampai bus selesai ditambal, tetapi saya lebih memilih di dalam bus dan melanjutkan mimpi. Dua jam berlalu, saya cek jam tangan saya sudah pukul 6 pagi, ban bus tersebut belum selesai juga di tambal. Akhirnya ban selesai di tambal sekitar jam 7 pagi. Dan ingat, kami masih di Tegal! Butuh waktu 4 sampai 5 jam menuju Wonosobo.

Bus berjalan lancar dan saya mulai sadar. Kota ke kota mulai dilewati, tibalah kami di Purwokerto sekitar pukul 10 pagi. Di Purwokerto bus berhenti lagi, tapi kali ini si supir ingin beristirahat sejenak. Kegiatan saat berhenti adalah mencari toilet kemudian masuk lagi ke dalam bus.

Kembali berjalan, tibalah bus di Banjarnegara, tepat seperti perkiraan Mas Wandi, kami diturunkan di Banjarnegara dan dilanjutkan dengan bus mikro menuju Wonosobo, alih alih bus tidak bisa menanjak. Kami menyerah dengan keputusan, dan kami melanjutkan perjalanan dengan bus mikro. Sebelum terminal Mendolo, Wonosobo, kami turun dan carter angkot sampai pos Pathak Banteng. Kami sewa satu mobil Rp 130.000,-.

Pukul dua siang, tibalah kami di Pos pendakian Pathak Banteng. Saya memang memilih jalur Pathak Banteng untuk keberangkatan dan Kejajar untuk pulang karena waktu tempuh dari Pathak Banteng lebih singkat, sekitar dua sampai dua setengah jam dibanding melalui Kejajar. Endro, kawan saya dari Bandung sudah tiba terlebih dahulu di pos Pathak. Ternyata ia sudah tiba di Wonosobo dari pukul 6 pagi, sempat tidur-tiduran dahulu di terminal dan ikut rombongan pendaki dari Jakarta menuju Pathak pukul 8 (karena menunggu kami yang belum muncul juga, ia memutuskan untuk menunggu di Pos Pathak. Maaf ya, Ndro!).

Tiba di Pos, kami beres beres dulu, para perempuan membuka peralatan “lenong” (walaupun naik gunung, tapi perawatan perlu), kemudian makan-siang-telat dan naik.

Sebelum pergi ke Prau, saya memang mempelajari terlebih dahulu via Mbah Gugel catatan perjalanan orang-orang yang sudah pernah naik ke sana, ditambah tanya sana sini jadi lumayan pahamlah. Benar adanya, naik melalui Pathak adalah jalur neraka, tidak ada bonus trek tetapi masih ada bonus pemandangan, pemandangan desa Pathak dari atas terlihat jelas dan keren. Saat mulai menanjak lagi, kita bisa melihat telaga di seberang, tetapi saya tidak tahu itu telaga apa. Mungkin Telaga Cebong dekat bukit Sikunir.
Pemandangan dari Jalur Pathak (pribadi)
 Di tengah perjalanan, sempat saya menemukan pohon yang di coret coret nama orang. Saya selalu kesal dan mengutuk orang-orang yang mengaku pecinta alam, tetapi malahan merusak/mencoret-coret/membuang sampah sembarangan. Pecinta alam berjiwa vandal.
para vandalis (pribadi)
Dua setengah jam kami tempuh akhirnya sampai juga di puncak. Kami berangkat dari Pos pukul empat sore dan sampai pukul setengah tujuh malam. Sebelum sampai puncak, saya dan Endro istirahat sejenak sambil menikmati kumandang adzan Magrib dan matahari terbenam, sedangkan Bagus dan Indah sudah melaju terlebih dahulu, tetapi Mas Wandi dan Ibnu masih tertinggal di bawah.

Bagus yang sampai duluan sudah mendirikan dua tenda dibantu oleh para pendaki lain yang tiba di puncak. Karena hari sabtu, puncak lumayan ramai orang-orang berkemah. Kami-kami yang baru tiba segera memasukkan barang ke tenda dan berganti pakaian dengan pakaian kering. Mas Wandi siap-siap masak (dia kami bai’at sebagai koki selama camping). Jam setengah 8 malam kami makan malam dengan menu Sop, Chicken Wings rasa mentega dan Tempe/Tahu goreng tepung. Makan di gunung itu bukan urusan enak atau nggak enak, yang penting kenyang.

Malam itu langit sangat cerah dan saya bersyukur kepada Tuhan kalau hari itu tidak mendung atau hujan. Sebelum naik, Ibu saya khawatir  dengan cuaca, takut-takut longsor atau badai tetapi alhamdulillah kenyataannya semesta mendukung perjalanan kami. Saya tidak henti-hentinya memandang langit yang penuh dengan bintang, tapi sayang saya tidak menemukan bintang jatuh. Lampu kota pun terlihat dari puncak, menambah cantik keadaan malam itu.

Setelah melihat sekitar, kami  duduk-duduk di depan tenda dan bercerita. Seperti biasa, ditengah-tengah obrolan Endro selalu menyusupkan curhatan-curhatan kisah kasih nya. Haha. 

Jam 11 saya masuk tenda untuk tidur agar pagi hari saya tidak ketinggalan melihat pertunjukkan matahari terbit. Sesungguhnya, malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak dikarenakan dingin yang menusuk, suara berisik dari tenda tenda lain dan tidur seperti sarden (satu tenda yang mestinya muat dua orang diumpel jadi tiga).

Pukul 4.15, saya sudah bangun dan udara sedang dingin-dinginnya. Langit mulai menampakkan beberapa pertunjukkan menarik. Bintang, bulan dan semburat cahaya matahari yang masih malu-malu menutup diri dibalik gunung.

Dan kemudian…

PERTUNJUKKAN DIMULAI!!

Sebelum Sunrise (pribadi)

Golden Sunrise (taken by: Endro)

after sunrise (pribadi)
Benar adanya, betapa indahnya pertunjukkan Golden Sunrise yang disuguhkan oleh Prau. Penantian selama ini terbayarkan. Saya panjatkan syukur pula kepada Tuhan, saya diberi kesempatan melihat pertunjukkan cantik tersebut. Ya, Maharani tidak pernah lelah mengejar Matahari!

Indonesia Baguuus! (pribadi)
Padang Bunga (pribadi)
Narsis bareng bunga (taken by: Indah)


Matahari mulai meninggi, kami kembali ke tenda untuk sarapan dan berkemas karena kami harus kembali ke Jakarta hari itu juga. Awalnya anak-anak tidak mau melewati jalur Kejajar dan melewati Pathak kembali dengan alasan takut ketinggalan bus (bus sudah saya booking sebelum naik, tidak mau terulang lagi kejadian seperti saat berangkat) karena bus berangkat dari Mendolo jam empat sore. Tapi saya terus membujuk mereka dengan iming-iming banyak bonus yang akan kita dapat di sana. Dan ya, mereka luluh juga!

Kami meninggalkan Prau pukul 08.45, melewati bukit-bukit (kata orang) bukit Teletubbies, tapi memang benar keadaannya seperti bukit yang ada di film Teletubbies. Sangat indah. Jalannya memang landai, tidak seperti via Pathak, tetapi memang jalurnya panjang dan naik-turun. Selain itu, ada saatnya di mana jalan hanya setapak, sisi kiri-kanan jurang. Di sana saya agak mual, takut melihat ke bawah.

Bukit Teletubbies (pribadi)
Bonus di jalur Kejajar banyak. Kita juga bisa melihat Dieng secara keseluruhan dari atas, bahkan kawah Sikidang dan Telaga Warna pun terlihat.
Telaga warna dari atas Kejajar (pribadi)

Walaupun jalur tidak seterjal Pathak, tapi setiap turun gunung saya selalu serodotan dan terjatuh. Alih alih menyenangkan diri setiap turun gunung, “bukan turun gunung namanya kalau nggak seserodotan” kata saya dalam hati. Padahal, itu Cuma pembenaran saja.

Tiga setengah jam waktu yang saya tempuh untuk turun, dan tiba di pos Kejajar pukul 11.38. Endro, Bagus dan Mas Wandi sudah tiba terlebih dahulu sedangkan saya, Ibnu dan Indah sampai belakangan.
Beres-beres dan makan siang, kami akhirnya siap pulang ke Jakarta dengan bahagia, walau saya pribadi agak kecewa tidak mampir ke Candi Arjuna.

Kami kembali ke rumah dengan selamat dan saya pribadi, akhirnya pencapaian saya tercapai sudah.
Terima kasih Bagus yang mau saya ancam agar rencana ini tidak jadi wacana; terima kasih Mas Wandi yang semangat menjadi koki dadakan di atas; terima kasih Indah yang telah nyuapin saya saat makan waktu di atas dan jadi mamah dadakan karena tingkah laku saya, haha; terima kasih Ibnu sudah menjadi fotografer kita-kita, jadi porter Carriel saya saat punggung saya sakit dan menolong saya saat seserodotan; terima kasih Endro atas curhatan-curhatan nyempilnya dan… Terima kasih Tuhan telah mendukung perjalanan kami dengan baik.
(ki-ka) Endro, Wandi, saya, Bagus, Indah, Ibnu

Saya siap menghadapi 2014 dengan segala tantangan.

No comments