Senja Di Jurangmangu


Senja (Gambar Pribadi)
Derap langkah ribuan pasang kaki keluar dari dalam gerbong kereta yang berhenti di stasiun Jurangmangu. Sepasang kaki bersepatu flat berwarna cokelat terhuyung-huyung keluar mengikuti arus kaki-kaki lain. Kaki itu berjalan keluar dari stasiun menuju tangga turun dan kemudian naik kembali ke arah tempat parkir. Saat ini tepat pukul lima lewat lima belas sore. Saras, si empunya kaki bersepatu flat berwarna cokelat itu sudah duduk di tempat biasa dia menunggu seseorang menjemputnya. Tempat yang terletak di dekat parkiran mobil, terbuat dari semen dan sangat strategis memandang matahari yang mulai menenggelamkan diri di ufuk barat.  Sambil menunggu, ia terus mengecek telepon genggamnya.





Tunggu sebentar ya, aku selesaikan kerjaanku dulu.

Ia membaca pesan singkat dari seseorang yang akan menjemputnya dan menyimpan kembali telepon genggam itu. Lama pun juga tidak apa-apa, aku masih menikmati langit jingga sore hari sambil mendengarkan Sigur Ros konser di telingaku, ucapnya dalam hati. Saras adalah pekerja kantoran di bilangan Sudirman. Setiap harinya ia memang terbiasa menggunakan moda komuter untuk sampai ke kantornya. Ia selalu pulang tepat waktu demi menunggu seseorang yang menjemputnya di stasiun ia berhenti. Seseorang yang namanya selalu ada di pesan singkatnya. Ekalaya.

Langit di atas stasiun jurangmangu berubah warna menjadi nila bercampur jingga dan biru muda. Setitik sinar berkelip terang diantara awan-awan. Di sisinya tampak bulan mulai menampakkan wajahnya. Sedangkan di sisi lain matahari samar-samar meredupkan sinarnya. Seseorang yang ia tunggu belum datang juga. Saras tidak peduli, ia masih asyik sendiri menikmati pergantian waktu masih ditemani alunan lagu-lagu Sigur Ros –band asal Eslandia— yang mengisi penuh telinganya.

Ia melihat lampu sorot menyoroti matanya. Tak lama suara klakson berbunyi, sebuah kuda besi datang mendekati Saras. “Ayo pulang!”

Saras terkesiap. Ia bangkit dari tempat tunggu dan meloncat ke belakang jok motor. Kuda besi itu melaju keluar dari stasiun Jurangmangu.

“makan apa kita malam ini?” tanya Ekalaya kepada Saras. Pertanyaan rutin yang selalu diucap setiap bertemu. Saras mencibirkan mulut, mengangkat bahu.

“setiap ditanya kamu pasti jawab ‘nggak tau’  atau ‘terserah’.” Ujar Ekalaya menggerutu. Saras hanya menyeringai.

"ya kamulah yang menentukan, kan kamu laki-laki. kalau di negara kita, laki-laki kan sebagai imam penentu mau kemana hidupnya akan dibawa" ujar Saras.

"Preet! Bisa saja kamu beralasan."

Ekalaya meluncurkan kendaraannya menuju arah Bintaro. Dia memutuskan makan malam di dekat stasiun saja. Mereka makan malam bersama, bercerita tentang kegiatan yang mereka lakukan di kantor selama sehari ini dan pulang. Kegiatan rutin dari hari ke hari, selain hari sabtu dan minggu.

“kapan kita kemana?” tanya Saras. Ekalaya mengernyitkan dahi.

“maksudnya?”

“ah jangan berpura-pura tak tahu artinya!” Saras mencibirkan bibirnya, menghempaskan sendok dan garpu dalam genggamannya seakan sudah malas melahap sisa makanan yang tinggal satu suap. Ekalaya tetap menyuap makanannya dengan lahap.

“sudahlah tak usah dipikirkan dulu, kalau tiba waktunya juga nanti akan terwujud.” Jawab Ekalaya datar. Ia meneruskan makannya.

Sepanjang perjalanan pulang, Saras tidak mengeluarkan suara sama sekali. Ia sengaja mengunci mulutnya dan membiarkan Ekalaya terus membawa motornya melaju sampai rumah Saras. Ekalaya mengantar Saras tepat di depan pagar rumahnya. Saras beranjak dari jok motor, tanpa ada ritual sebelum berpisah, Saras segera nyelonong masuk ke dalam rumah. Ekalaya memandang Saras, memutar motornya dan pulang ke tempat tinggalnya.

Ekalaya selalu berusaha meyakinkan hati akan pilihannya. Seorang perempuan yang tiba-tiba hadir dan memenuhi hidupnya setahun belakangan. Ia datang tanpa diharapkan. Datang begitu saja, kemudian mengisi hari-harinya. Apakah Saraswati akan menjadi perempuan terakhir di dalam kehidupannya? Apakah ia sanggup bersama Saras sampai usia senja?

Segala keputusan pasti ada resiko yang menyertainya, ujar Ekalaya dalam hati. Ia masih bimbang dengan apa yang akan ia putuskan. Tentang apa yang akan terjadi dengan hubungannya nanti. Yang pasti, ia tidak mau membuat Saras berekspetasi atau kecewa. Ia meredupkan mata sampai semesta menyalakan lampu alami.

***

“pagi!” sapa Saras yang sudah menunggu di depan tempat tinggal Ekalaya. Ekalaya sedang mengeluarkan motornya dari dalam tempat tinggalnya.
            
“pagi,” balas Ekalaya.
              
Tanpa kata berucap, mereka langsung mengisi posisi masing-masing di atas motor dan segera melaju kencang, kembali menuju stasiun Jurangmangu di pagi hari. Sampailah mereka di stasiun. Saras memeluk erat Ekalaya. Ekalaya berbalas memeluknya dan melepaskan pelukan.
                
“hati-hati ya. Nanti kabari kalau sudah sampai kantor,” ujar Ekalaya. Saras hanya memberikan jempol kemudian berlalu menuju loket karcis. Ekalaya melajukan motornya menuju kantor. Kantornya tidak jauh dari stasiun, hanya berjarak 3 kilometer.
            
Ekalaya masih memikirkan apa yang diminta Saras semalam. Sebagai laki-laki, ia harus mempunyai nyali yang cukup untuk memutuskan sesuatu. Untuk kebaikan dirinya maupun seorang perempuan yang selalu mengisi hidupnya saat ini.

Baiklah, mungkin malam ini waktu yang tepat untuk membicarakan “kapan kita kemana” yang diinginkan Saras, ucapnya dalam hati. Telepon genggam Ekalaya berdering singkat. Ia membaca pesan yang masuk ke dalam teleponnya.

Aku sudah sampai kantor. Selamat bekerja, Sayang.

Pesan singkat dari Saras. Ia hanya membalas, “sama sama. I love you”.

Saras tidak pernah berpikir sama sekali bahwa suatu waktu ia benar-benar menuju apa yang orang-orang hendak capai. Pencapaian yang katanya menjadi kesempurnaan hidup setiap orang. Sesuatu hal yang komplit dari hubungan antarmanusia beda jenis. Suatu ikatan yang katanya selamanya. Tetapi, apakah dengan Ekalaya ia benar-benar menuju ke arah itu? Ia juga tidak tahu. Yang pasti saat ini ia sedang menjalankan hubungan dengan Ekalaya. Seorang lelaki yang ia temui setahun lalu tanpa sengaja, tanpa diduga dan mereka saling mengisi satu sama lain begitu saja. Mungkin menyenangkan, mungkin juga tidak. Semua pasti ada sisi baik dan sisi buruknya. Ya sudahlah, hadapi saja.

Tak terasa waktu kembali bertemu di pukul lima sore. Saras terkesiap menuju stasiun Sudirman agar tidak terlambat naik kereta menuju Jurangmangu. Seperti biasa, ia mengirimkan pesan singkat kepada Ekalaya perihal kepulangannya. Saras bersiap memutar lagu untuk memenuhi telinganya. Kali ini ia memilih Float untuk membisikkan alunan lagu di telinganya. Dan Pulang lagu tepat untuk pulang.

***

Ekalaya telah menyelesaikan kerjaannya. Ia siap menjemput Saras di Jurangmangu dan siap melontarkan ucapan yang menggumpal di kerongkongannya, seakan-akan ingin ia semburkan secepat mungkin. Ia berusaha datang lebih awal dan menunggu Saras keluar dari gerbong kereta Jabodetabek bersama para pekerja Ibukota. Ia menunggu Saras di tempat biasa Saras menunggu dirinya. Membaca buku, dan menikmati senja berwarna jingga. Kereta Saras belum datang juga, padahal sudah pukul  lima lewat lima belas. Ekalaya tetap menunggu. Mungkin ada gangguan kereta seperti biasa, pikirnya.

Waktu menandakan pukul enam kurang lima belas, kereta Saras belum datang juga. Ekalaya bertanya kepada petugas kereta, benar adanya kereta mengalami masalah di stasiun Tanah Abang. Mungkin sekitar setengah jam lagi kereta datang.

Ekalaya mulai goyah dengan kesabarannya. Apa yang ingin ia ucapkan jadi terasa “basi”. Tetapi ia tetap menunggu kereta itu datang. Ia mencoba menghubungi Saras, tidak ada jawaban. Satu kali. Dua kali. Tiga kali sampai lima kali tidak ada jawaban.

Kesabaran Ekalaya surut. Ia menyerah menunggu Saras datang. Ah tak perlu bertanya kembali ke petugas, biar saja Saras pulang sendiri, pikirnya. Sesegera mungkin ia meninggalkan Jurangmangu dan balik ke tempat tinggalnya. Ia tak henti menghubungi Saras, akhirnya terhubung juga. Dua detik terhubung, kemudian mati. Ia mencoba menghubunginya kembali, tak ada nada sambung terdengar. Ia baru ingat, ia belum membuka pesan singkat dari Saras beberapa jam lalu. Ia hanya menghubungi tanpa memeriksa pesan singkat. Ada dua pesan singkat yang masuk.

Aku sudah pulang.

Satu pesan singkat lagi juga dari Saras :

Kereta sesak. Aku tidak bisa bernafas.

Ekalaya segera kembali menuju stasiun Jurangmangu. Ia mendapati kabar kereta terbakar di Stasiun Pondok Ranji. Ia berharap Saras tidak berada di kereta itu. Tetapi ia tidak mendapatkan tanda apapun. Saras belum pulang, tetapi ia juga tidak ada di dalam kereta itu.

No comments