15 tahun Reformasi , Kasus Perkosaan Tetap Menjadi Misteri


Poster Mei 98 (Source: Komnas Perempuan)
Lima belas tahun berlalu, teka teki dibalik peristiwa Mei 1998 yang melahirkan reformasi ternyata tak pernah dapat terkuak hingga tuntas. Beragam peristiwa, mulai dari demonstrasi massa, pembakaran gedung  sampai penjarahan masih menyimpan tanda tanya besar. Terutama lagi adalah peristiwa traumatis yang sangat tragis, yaitu perkosaan massal yang dialami oleh perempuan keturunan tionghoa. Apa yang  sesungguhnya terjadi dibalik semua ini? Mengapa perempuan tionghoa yang dikorbankan?


Saat massa telah bergumul di depan gedung DPR/MPR, lamat-lamat terdengar bahwa presiden resmi Lengser ke prabon alias turun tahta. Reformasi dimulai, bukan dengan perdamaian tetapi dengan kabut kelabu. Kehidupan seolah kembali pada zaman jahiliah di mana adab dan etika serta norma tidak lagi berlaku. Nyawa dan kehormatan pun sudah tidak lagi ada harganya. Reformasi menjadi salah arti.

Pembantaian, pengrusakan, hingga perkosaan dilakukan tanpa beban dan seakan tidak perlu dipertanggungjawabkan. Berjalan begitu saja seperti air dan menghancurkan semuanya tanpa ada yang berani mengakui. Apakah mungkin karena dilakukan secara serentak dan beramai-ramai sehingga dianggap benar? Pasti akan berbeda jika hanya dilakukan oleh satu atau segelintir orang saja, kan?

Dibalik kejadian nahas yang dialami oleh para perempuan tionghoa 15 tahun lalu, merebak pro dan kontra peristiwa tersebut. Beberapa kelompok masyarakat menyatakan bahwa tindak perkosaan dan hasil bukti foto bukanlah bukti konkrit. Salah satu perempuan tionghoa yang mengaku sebagai korban dari tindakan brutal sekelompok massa yang membabi buta pun dianggap sebagai angin lalu. Ia mencoba untuk menguak peristiwa, tetapi dibungkam begitu saja, dianggap sebagai tameng orang-orang tionghoa meminta perlindungan di tanah air ini. Alasannya, semua hanya gimmick dan isu yang diperbesar oleh media, untuk melindungi para pemegang modal di Indonesia dan mendapatkan iba dari masyarakat banyak. Padahal, jika mengatasnamakan Hak Asasi Manusia, banyak atau sedikitnya korban dalam kejadian tersebut, mereka adalah manusia yang hidup di negeri ini, tak peduli mereka adalah bagian dari para pemegang modal terbesar di negeri ini, yang menjadikan pribumi seolah “budak” kenaikan ekonomi. Coba bayangkan, seandainya diantara mereka yang menjadi korban adalah keluarga kita sendiri, apakah kita tetap acuh tak acuh terhadap kejadian traumatis yang menimpanya? Mereka juga tidak menginginkan kejadian seperti itu terjadi kan?

Sungguh nasib sial menjadi perempuan Tionghoa pada saat itu. Sudah dijadikan korban perkosaan tetapi tidak ada juga yang diberikan hukuman atas perbuatan biadab itu. Bahkan sampai saat ini, masih belum ada yang mengakui siapa para pelaku perkosaan massal tersebut. Alasannya, tidak ada bukti autentik yang menunjukkan adanya tindak perkosaan massal saat peristiwa kerusuhan Mei 98 berlangsung. Sementara hidup harus terus berlanjut, para korban yang terbungkam tetap menanggung perih yang mereka dapatkan.

Pemerintah sampai saat ini pun seakan bungkam dengan peristiwa yang terjadi lima belas tahun yang lalu. Seakan semua sudah beres, yang berlalu dianggap sebagai gonggongan anjing di malam hari, kelar keesokan harinya. Kontroversi yang masih berjalan, luka lama pasca rontoknya orde baru masih tetap terkubur hidup-hidup dan seolah terlupakan. Apakah dalang sejarah reformasi bagian dari aksi propaganda pemerintahan juga? Siapa yang tahu kan? Kalau sudah begini, apakah kita harus menjadi lupa atau berjuang melawan lupa?


 *artikel ini hasil brainstorming tulisan dengan Mariska Lubis. terima kasih, Mbak! :D

1 comment

  1. I think your blog is great and if you do not mind your blog should be updated, thanks
    domino qiu qiu

    ReplyDelete