Semenjak
kedatangan tetangga baru yang menempati bilik tepat atas tempat
tinggalku, setiap malam atap kamarku selalu berdentum keras. Aku tak
pernah ambil pusing, ku anggap mereka tetangga baru yang sedang
merapikan tempat tinggalnya atau sedang memindahkan meubel-meubelnya.
Aku dan Keluargaku memang tinggal di rumah susun padat penduduk dan kami
tinggal di dalam bilik yang tidak lebih dari empat puluh meter persegi
dan hanya ada triplek sebagai penyekat yang membatasi antara ruangan
demi ruangan. Di dalam bilik ini hanya aku dan kedua orang tuaku yang
tinggal. Rumah susun ini bertingkat lima, tempat tinggalku di nomor 12
lantai dua. Jarak antara bilik satu ke bilik lainnya saling berhimpitan,
atap bilik satu dengan lantai bilik atasku menempel sehingga suara
derap langkah atau bantingan pintu dapat terdengar jelas.
Sepulang
sekolah, seperti biasa aku mengunjungi temanku, Kairo, yang tinggal di
lantai tiga. Aku melewati bilik nomor 32 yang berada tepat diatas bilik
tempat tinggalku. Seorang anak sedang menopang dagu di balkon depan
pintu. Seorang anak laki-laki seusiaku. Tubuhnya kurus tinggi, kulitnya pucat, rambutnya berwarna coklat tua senada dengan warna matanya yang besar.
Ia memakai kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana tiga perempat
berwarna coklat tua. Sekejap mata besarnya terlihat seperti mata Dobby,
salah satu tokoh peri di dalam novel favoritku, Harry Potter. Bibirnya
tampak hanya segaris dengan sudut yang runcing. Wajahnya terlihat sayu.
Aku berusaha mendekatinya, tersenyum dan menyapa, “hai!”.
Ia
menoleh ke arahku dan tersenyum. Matanya yang lebar menyipit seketika.
Aku mensejajarkan tubuhku di samping tubuhnya, ia kembali berpaling dan
menatap lurus ke arah luar. “hai, aku baru melihatmu hari ini. Kamu baru
pindah ke sini ya?”
Ia mengaggukkan kepala. Wajahnya tidak menoleh ke arahku. Aku mengulurkan tangan, “Lucy! Bolehkah kita berkenalan?”
Tubuhnya
ia miringkan, dan sekarang kami saling berhadapan. Ia meraih tanganku
dan menyebutkan namanya, “Luka!”. Ia kembali tersenyum. Wajahnya memang
dingin, tetapi senyum ramahnya meleburkan kedinginan itu.
“aku
mau ke rumah temanku, Kairo. Apakah kamu mau ikut denganku?” ia
mengangguk dan mengikuti langkah kakiku. Tiga langkah berjalan
meninggalkan pintu bilik, terdengar dari dalam tempat tinggal Luka suara
seorang wanita paruh baya teriak memanggil namanya. Teriakannya
terdengar agak serak dan besar. Luka menghentikan langkahnya, ia berlari
meninggalkanku dan masuk ke dalam biliknya tanpa menoleh ke arahku. Aku
berusaha memanggil, tetapi ia tidak mengacuhkannya. Aku melanjutkan
langkahku ke tempat Kairo.
Kairo
ternyata belum mengenal Luka. Temanku itu, tinggal tiga blok dari Luka.
Kairo bilang, ia tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Sepulang
dari tempat Kairo, aku melewati tempat tinggal Luka. Dari luar tempat
itu terlihat damai. Aku mendekati pintu nomor 32 itu dan
berusaha untuk mengetuk dan memanggil Luka. Aku memang seorang anak
berusia sepuluh tahun yang mempunyai rasa ingin tahu yang lebih.
Seketika batinku terketuk agar jangan mengusik daun pintu itu. Akhirnya
aku berjalan turun ke lantai dua.
Malam
ini, dari plafon kamarku kembali terdengar suara gemuruh seperti jejak
kaki tikus yang hilir mudik rusuh di atas loteng. Tidak mungkin itu
suara tikus, karena atap kamarku tidak ada loteng. Atap kamarku langsung
menempel dengan lantai bilik di atas. Apakah suara itu berasal dari
kamar Luka?
Pagi
hari sebelum pergi ke sekolah, aku bergegas menuju lantai tiga dan
memanggil Luka. Keluarlah seorang Ibu berwajah hangat seperti
marshmallow masak dan ramah—sangat ramah—tersenyum kepadaku. Senyumannya
seperti saat Luka tersenyum padaku. Bibir tipis yang lebar mengembang
dengan sisi yang runcing. Ternyata itu Ibunya. Suaranya serak, seperti
saat ia memanggil Luka kemarin sore. Luka ternyata sudah berangkat ke
sekolah dan Ibunya tidak memberitahukan kepadaku di mana Luka
bersekolah. Aku menjanjikan kepada Ibu Luka, aku akan ke sini sepulang
sekolah nanti. Ibu Luka memperbolehkanku datang nanti sore.
Aku
kira Luka bersekolah di tempatku, ternyata tidak. Aku tidak menemukan
seorang murid baru sama sekali. Semua seperti biasa, tanpa ada murid
tambahan. Sepulang sekolah aku mengajak Kairo bertemu dengan Luka. Aku
mengetuk pintu biliknya, tidak ada yang membukakan. Aku pun tidak
mendengar suara apapun saat aku mencoba menempelkan telinga ke daun
pintu nomor 32. Aku gagal mempertemukan Kairo dengan Luka.
Tiga
hari kemudian, aku berjumpa lagi dengan Luka. Ia menyilangkan tangan di
pinggiran balkon. Wajahnya datar menatap lurus ke depan. Aku
menghampiri dan menyapanya. Matanya yang mirip Dobby menatapku. “Hai
Luka, tiga hari yang lalu aku mengunjungi tempatmu sebelum aku ke tempat
Kairo tetapi kamu tidak ada. Kuketuk pintu tidak ada yang menyapa.”
“Kamu
menghampiriku?” tanyanya. Aku mengangguk dan mengembangkan senyum.
Waktu itu ia dan Ibunya sedang tidak di rumah. Ibunya lupa
memberitahukan bahwa aku akan datang. Padahal, aku ingin memperkenalkan
Luka dengan Kairo, sahabatku. Aku ingin mengajaknya bermain. Ia belum
mempunyai banyak teman di sini karena ia anak baru. Aku ingin sekali
mengenalkan dia dengan Kairo, tetapi hari ini Kairo sedang pergi dengan
keluarganya ke luar kota sampai minggu depan.
“Luka,
kamu mau main ke lapangan denganku? Nanti ku perkenalkan kamu dengan
teman-temanku di sini.”, ajakku. Ia menggeleng pelan.
“aku tidak boleh pergi. Aku hanya boleh berada di sini. Nanti Ibu mencariku.” Jawabnya.
Mendengarnya,
aku sedikit kecewa. Tetapi baiklah, aku akan menemaninya, setidaknya di
balkon ini. Kami berdua sudah mengenal dengan baik dan tampak akrab.
Kami bermain tebak huruf, bercerita tentang buku-buku yang kami baca dan
sekolah. Aku senang menceritakan tentang sekolahanku, tetapi ketika aku
tanya tentang sekolahnya, ia tidak menjawab apa-apa.
“oiya
Luka, apakah kamu punya peliharaan di dalam kamarmu?”, tanyaku. Ia
menggeleng. Aku mencibirkan mulut, menyatukan kedua alisku yang seperti
ulat bulu. “hmmm… kalau begitu, apakah kamu suka bermain lompat-lompatan
atau berlari-lari di dalam rumahmu?”
Luka
menggelengkan kepalanya lagi. Ia anak yang jarang mengeluarkan
kata-kata. Suaranya yang kecil dan lirih terdengar mahal. Aku selalu
mencoba membuatnya buka suara, tetapi ia hanya sering berkata ‘ya’ atau
‘tidak’ atau hanya tersenyum lebar. Ia selalu memakai kemeja lengan
panjang putih yang ia kancingi sampai pergelangan tangan. Aku sering
melihat guratan-guratan halus berwarna merah di dekat pergelangan
tangannya apabila tak sengaja lengan kemeja itu terangkat. Guratan itu
seperti bekas sayatan. Ia juga selalu memakai topi pet berwarna cokelat
tua berbahan fanel yang sudah agak usang.
“Luka,
setiap malam aku mendengar dari kamarku suara langkah kaki cepat atau
dentuman keras dan aku yakin itu dari tempatmu karena aku mendengar dari
atas langit-langit kamar. Boleh aku tahu apa yang sedang kamu atau
orang tuamu lakukan?”
“Lukaaaa… Luukaaaa…!!!”
Teriakan
Ibunya kembali memanggil Luka dari dalam. Lagi-lagi Luka meninggalkanku
begitu saja dan segera masuk ke dalam tempat tinggalnya. Aku menghela
nafas dan berjalan merunduk menuju tempat tinggalku. Aku masuk ke dalam
kamar dan mendengar adakah suara gaduh yang selama ini dia dengar malam
hari terdengar lagi?
Malam
ini, aku terbangun mendengar suara gaduh semakin jelas di kamarku. Aku
mendengar suara Luka seperti anjing kecil yang melolong rintih. Akupun
mendengar suara itu antara sadar dan tidak. Dua kali aku mendengar suara
Luka merintih histeris. Aku melihat jam, tepat jam dua belas malam.
Suara derap kaki berpusat di persis di atas kepalaku. Aku mencoba
membangunkan Ibuku. Suara itu membuatku tak bisa tidur. Lima belas menit
kemudian, suara itu menghilang. Kamarku kembali sunyi. Kelopak mataku
terlanjur menegang, ia tidak mau diistirahatkan kembali. Aku menatap
langit-langit kamarku dengan kecurigaan. Apa yang terjadi dengan
keluarga Luka? Apa yang selalu dilakukan Luka di tengah malam seperti
ini?
Beberapa
malam ini, atap kamarku terasa damai. Sudah tiga hari aku tidak
berkunjung ke lantai tiga, baik menemui Kairo maupun Luka. Aku berniat
besok pagi akan berkunjung ke tempat keduanya. Besok
adalah minggu pagi, biasanya di minggu pagi banyak anak-anak yang
bermain di lapangan dekat rumah susun. Aku akan mengajak mereka berdua
bermain. Rasanya tak sabar ingin cepat-cepat besok pagi.
Minggu pagi yang sangat cerah, aku terbangun dengan perasaan seperti strawberry cheese cake,
manis, legit dan segar membuat wajahku sumringah. Aku tak sabar bermain
dengan Kairo dan Luka di minggu yang cerah. Aku sudah berimajinasi
berlari-lari bersama di lapangan rumput tersebut, bermain petak umpet
dan seperti biasa aku dengan Kairo, tidur siang di atas pohon mapel yang
rindang sambil mendengarkan kicauan burung-burung saling bersahutan.
Sungguh menyenangkan. Sebelum mengunjungi Kairo, aku menghampiri Luka
terlebih dahulu. Aku memanggilnya dari luar. Ibunya membuka pintu. Ia
tersenyum lebar. Aku menanyakan Luka. Dengan senyum Marshmallow nya, Ibu
Luka memberitahuku bahwa Luka sedang pergi dengan pamannya. Katanya, ia
pergi kemarin malam. Apa yang aku rencanakan semua gagal.
Selasa
pagi aku menemukan keramaian terjadi di lantai tiga. Banyak polisi yang
lalu lalang menaiki anak tangga. Ibuku berada di balkon depan bilik
kami bersama Bibi Serenada, saling bercerita. Ku dengar Bibi Serenada
berkata ada sesuatu terjadi di lantai tiga. Katanya, Ibu yang menghuni
tempat nomor 32 ingin melakukan usaha bunuh diri melompat dari lantai
lima. Aku berpikir sejenak, nomor 32 adalah tempat tinggal Luka. Berarti
yang melakukan usaha bunuh diri Ibunya Luka?
Bibi
Serenada kembali bercerita, sudah lama wanita itu mengidap penyakit
jiwa dan menganggap anak laki-lakinya itu adalah iblis yang harus
dihancurkan. Setiap malam, ia selalu mendatangi kamar anak lelakinya,
membuat anak itu tak sadarkkan diri dan mengikat kaki serta tangannya
kemudian ia menyayat halus tubuh anak itu. Tidak hanya itu
saja, polisi menemukan jasad anak lelaki itu di dalam lemari pakaian.
Aku tidak begitu mempercayai perkataan Bibi Serenada. Aku bergegas lari
menuju tempat tinggal Luka. Banyak polisi di sana. Aku melihat sesosok
jasad tak bernyawa di bawa oleh tim medis. Jasad itu sangat ku kenal.
Itu teman lelaki ku, Luka.
________________________________________________
terinspirasi dari lagu “My Name is Luca”- Suzanne Vega
No comments