![]() |
source : moblog.net |
KRL Jabodetabek memang sangat membantu, daripada saya harus
naik angkutan umum, bis kota atau Transjakarta. Tapi tetap saja, setiap hari
saya masih mengeluh. Keluhannya pun itu-itu saja. Dari rumah penampilan saya
sudah rapi, dandan cantik dan wangi. Tetapi, apa yang terjadi setelah saya
keluar dari kereta jurusan Sudimara-Tanah Abang-Sudirman? Hanya dua kata, “Tak
Berwujud”.
Sia-sia rasanya memakai baju rapi, berdandan dan
menyemprotkan satu botol minyak wangi. Di dalam kereta, rasanya saya diantara
hidup dan mati. Badan saya yang kurus semakin mengurus. Gencet sana, gencet
sini, sikut sana sikut sini, tiap pagi rasanya selalu emosi.
Belum lagi kalau kereta datang telat. Penumpang yang belum
terangkut pagi harinya, numpuk jadi satu di kereta selanjutnya. Alhasil, kereta
tumpah ruah. Orang-orang bagai cendol yang berjejal-jejalan di dalam gelas es. Tidak
jarang anggota badan salah satu penumpang terjepit saat pintu mulai tertutup.
Ada budaya yang lucu saat mau naik kereta, apalagi kalau
berada dikerumunan ibu-ibu. Saat pintu kereta dibuka, mereka mulai memasang
badan, melonjak masuk ke dalam gerbong. Semua
berdesak-desakkan, tak peduli tangan dan kaki saling beradu dan terlilit-lilit.
Kereta Commuterline yang ber-AC pun berubah jadi sauna
seketika saat para komuter memenuhi delapan gerbong tersebut. Memutar mata,
memandang sekeliling, wajah-wajah penumpang bervariasi, ada yang pasrah,
mengernyitkan muka, ngantuk, datar. Adapula yang mengeluh, mengumpat, ya
termasuk saya yang sering mengumpat dan mengeluh tapi tidak bisa apa-apa. Toh saya
masih menggantungkan hidup naik sepur
berantai itu, demi mencari sesuap nasi.
Sampai saat ini, PT KAI pun belum ada tanda-tanda untuk memperbaiki
fasilitas dan operasionalnya. Masih banyak yang perlu dikelola oleh PT KAI,
dari segi gerbong, pelayanan, informasi dari segi pemberitahuan pemberhentian
sampai para petugasnya masih kurang memuaskan.
Pernah pengalaman, saya bertanya ke dua petugas kereta yang
berbeda dengan pertanyaan sama, “Mas, kereta ke Tanah Abang sudah sampai mana?”
Mas-mas petugas A menjawab sudah sampai Manggarai. Ketika itu
saya memang sedang buru-buru ingin segera sampai rumah, saya pikir kalau sudah
sampai Manggarai berarti sebentar lagi kereta menuju Sudirman. Antara Manggarai
–Sudirman jarak tempuh hanya sekitar 10 menit.
25 menit berlalu, kereta yang katanya sampai di Manggarai
belum datang-datang. Akhirnya saya tanya lagi ke petugas B, dia bilang ternyata
kereta baru sampai Tebet dan tadi masih di Depok. Saya heran, seharusnya mereka
berdua saling berkoordinasi menginformasikan jadwal kereta, agar penanya tak
dibuat bingung. Akhirnya saya menunggu lumayan lama, untung saja bukan hal yang
fatal.
Ah, cerita mengenai keluh kesah naik ulat besi kalau dirunut
tidak akan pernah selesai. Tinggal menunggu,
menunggu dan menunggu suatu penantian, pemerintah memperbaiki dan merekondisi
si gerbong panjang itu.
No comments