Suara lelaki yang sedang mendekap Arimbi di atas tempat tidur berwarna putih berbalut selimut berwarna kuning gading mencengangkannya. Ia spontan melepas dekapan lelaki itu dan segera terduduk di pinggir kasur, membelakanginya. Lelaki yang bertelanjang dada yang tadi berada di samping Arimbi terperangah. Dahinya mengerut, wajahnya menyimpan tanda tanya. Ia mulai mendengar suara rintihan lirih dari arah Arimbi. Sesaat kemudian, tubuh Arimbi terguncang pelan dan rintihan lirih itu sesekali terisak.
Lelaki itu bernama Seno. Ia berusaha memeluk Arimbi dengan lembut dari belakang. Ia mengelus halus rambut lurus sebahu milik Arimbi yang agak kusut dan sesekali menciuminya. Tubuh Arimbi masih membatu. Ia masih larut ke dalam luruhnya air yang mengalir melalui matanya. Tatapannya lurus ke arah lantai tanpa tujuan. Pikirannya berkecamuk di kepala. Seandainya kamar itu dapat ia acak-acak, dengan bebas ia bisa melemparkan lampu ruangan yang ada di sisi meja dan melempar selimut gading kumal itu. Ia berusaha melukai Seno, menghantam tubuhnya yang berisi dan melebamkan wajahnya yang mulai mengerut termakan usia. Faktanya, ia masih membatu dengan rangkulan Seno di belakang tubuhnya.
“Maaf Arimbi, bukan aku bermaksud melukai perasaanmu, bukan! Bukan itu!” mendengar suara Seno lagi, ia meninggikan isakan tangisnya dan mulai meraung. Badannya semakin keras seperti patung semen. Malam ini, kamar yang biasa menjadi tempat pertemuan mereka terasa sangat dingin dan mencekam, bukan lagi kehangatan yang terkadang berubah menjadi api nafsu yang membara diantara mereka. Air conditioner yang di matikan masih tidak mempengaruhi rendahnya suhu suasana antara mereka.
Sesaat kemudian, Arimbi mulai mengembalikan ritme tubuhnya secara perlahan. Ia berusaha menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan pelan sampai merasa tenang. Dadanya kembang-kempis menyesuaikan dengan detak jantung. Badannya yang membatu mulai melunglai. Ia sudah bisa membuka mulut untuk berbicara, walaupun nafasnya masih terengah-engah.
“kenapa tidak bisa? Apa karena keadaan kita yang berbeda? Apa karena konstruksi sosial dan omongan orang-orang diluar nanti tentang kita dan kamu merasa citra kamu akan menurun?”
Seno memeluk Arimbi semakin erat. Ia menciumi pipi Arimbi yang kenyal dengan sangat lembut, tetapi ia tidak bisa menjawab pertanyaan Arimbi. Arimbi menepis bibir Seno dari pipinya. Mulut Seno terkunci. Ada rahasia dibalik pikirannya.
“Jawab! Kamu nggak bisa kan menjawab pertanyaanku?”
Arimbi menggeliatkan tubuhnya yang tak memakai sehelai benang pun, memberontak keluar dari pelukan Seno dan mencoba merebut selimut gading itu dengan cepat membalut tubuh mungilnya yang mulus. Ia berteriak lantang. Seno terdiam, menggigit bibir bawahnya. Mereka berdua diam sesaat. Hening dan sunyi.
Seno mengenyampingkan tubuhnya, memandang jam tangan Rolex berlapis emas yang ada di sisi meja. Tepat jam dua belas malam. Kemudian ia memandang telepon selularnya, tidak ada peringatan sms maupun telepon yang tidak terangkat. Ia kembali mencoba memeluk Arimbi, tetapi Arimbi menolak.
“maaf Arimbi, bukan aku tidak bisa mewujudkan keinginanmu, tapi…”
Arimbi memutus perkataan Seno, “iya, tapi apakah seseorang sepertiku tidak boleh merasakan kasih sayang dari seorang pelanggannya? Hah?!”
“Kamu tahu, aku tidak pernah menganggapmu sebagai pelangganku. Tidak pernah! Dan ingat, aku mencintaimu bukan karena kamu orang besar bergelimpangan harta, seseorang yang punya banyak pengawal dan seseorang yang punya kedudukan dan bisa menyuruh orang seenaknya. Bukan juga karena kamu dengan mudah memberiku apa saja. Aku ini masih punya perasaan untuk mencintai, dan aku masih punya keinginan untuk menjadi pendamping setiamu.”
Jantung Arimbi berpacu kencang ketika mengeluarkan semua ucapan yang dilantunkan. Rasanya, bagaikan lahar panas meluap-luap ingin menyembul ke permukaan. Seno hanya mendengarkan dengan tenang, seolah semuanya bisa ia atasi. Wajahnya terlihat berwibawa dan bijaksana, sesuai dengan usia yang bisa terlihat dari rambut pendeknya yang mulai memutih, mencoba untuk memadamkan api yang meletup-letup di dalam tubuh Arimbi. Melilit erat kedua tangannya di tubuh Arimbi, berusaha memberikan penenang.
“kita memang tidak bisa menjadi satu, Arimbi, tidak akan pernah bisa. Kamu mengerti kan bagaimana situasinya? Kamu juga mengerti siapa saya? Tapi Arimbi, kamu akan selalu ada di dalam kehidupanku, walaupun pada akhirnya kita tidak mungkin pernah menjalin satu ikatan.”
“Sekalipun aku hamil dan punya anak dari kamu?” Arimbi menyela. Seno mulai mengendurkan tangannya dari tubuh Arimbi yang mungil. Ia merubah posisi. Menengadahkan badan di tempat tidur, tanpa merespon ucapan Arimbi.
Sekejap Arimbi terbesit serbuk putih dan lip balm strawberry yang ia beli tiga hari lalu. Ia ingat perkataan temannya ketika ia memesan khusus serbuk putih itu, “gile lo, cyiin. Sarap lo ye? Ar, inget Ar lo tuh siapa, dia tuh siapa Ar.”
Arimbi tidak menggubris ucapan temannya waktu itu. Ia hanya menyeringai mendengar ucapan Tina, si banci kaleng yang setia membantu Arimbi, kapanpun dimanapun dalam situasi apapun. Yang ada di pikiran Arimbi saat itu hanya mendapatkan serbuk putih pesanan khusus dan mencampurkan ke lip balm strawberry nya. Suatu waktu ia harus menggunakannya, pikir Arimbi.
Arimbi membalikkan badan dan wajahnya saling berhadapan dengan wajah Seno. “Mas, aku sayang sama Mas Seno. Sampai kapanpun, aku tetap ingin menjadi istri Mas Seno, walaupun kedudukanku tidak akan pernah menjadi yang utama.”
Arimbi memegang erat telapak tangan Seno di atas kasur. Wajah Seno datar, tidak ada sepatah kata ia ucapkan. Arimbi membalikkan badan lagi membelakangi Seno. Pikirannya mulai galau. Otaknya tak lagi bersih.
Malam semakin meremang, udara luar tak mampu mengalahkan dinginnya kamar. Awan tebal mulai membalut cuaca kala itu. Perlahan tetesan air muncul dari angkasa. Di dalam kamar, sepasang kekasih gelap masih duduk termangu diatas tempat tidur. Suara gelegar halilintar tak cukup memecah kesunyian. Arimbi masih duduk di pinggir kasur dengan tatapan kosong, sementara Seno mengubah posisi menyender senderan tempat tidur serta menyelimuti tubuh yang tidak mengenakan sehelai benang.
Arimbi bangkit dari duduknya, berjalan gontai menuju kamar mandi. Sebelum masuk, ia mengambil tas kulit berwarna coklatnya yang tergeletak di atas meja kecil di pojok kamar. Di dalam tas itu, ia menyimpan semua alat-alat kosmetik yang ia perlukan. Tak lama kemudian, Arimbi keluar dari kamar mandi. Bibirnya terlihat mengilap, wajahnya yang tadi kusut kembali cerah. Rambut hitam sebahu tertata rapi. Badannya yang mungil sudah terbalut kaus ketat berwarna putih dan celana dalam sewarna. Ia kembali ke tempat tidur dan memeluk Seno.
“mari kita kembali menikmati hari ini, aku yakin, di lain tempat kita pasti bisa bersatu.” Arimbi tersenyum, seolah tidak ada kejadian apa-apa sebelumnya. Mereka berdua saling berdekapan mesra.
“bibirmu manis, Arimbi” Seno berbisik lembut. Arimbi bermanuver dengan lincah tanpa menggubris bisikan Seno. Seno terus melumat bibirnya tanpa ampun. Arimbi menari-nari senang, tertawa puas di dalam khayalnya. Arimbi menggiring Seno ke dalam fantasinya. Mereka menari-nari di ruangan putih tanpa ada seorang pun yang berada di sana. Mereka terus menari, menggerakkan dan menggeliatkan badan sesuai hentakan hingga kelelahan. Nafas keduanya saling terengal-engal, perlahan tapi pasti tubuh mereka mulai melemas.
Matahari mulai mengintip di antara awan-awan fajar. Menembus setitik ke dalam celah jendela kamar ber cat putih. Di dalamnya, Seno dan Arimbi saling berpelukan dengan erat di balik selimut kuning gading. Mata mereka terpejam. Wajahnya tampak sangat lelah dan pucat. Hingga matahari menjulang tinggi, mereka tak terbangunkan sampai kapanpun.
No comments