Lima tahun berlalu sejak kejadian itu. Di sini, di dalam rumah ini, aku sudah menjadi benda yang tak terurus dan berdebu bersama keempat temanku yang selalu mendampingiku. Satu diantara mereka berada di ruangan seberang, tergeletak begitu saja, setelah ada yang menendangnya bertahun-tahun silam. Suasana rumah ini beku, sunyi tak berpenghuni. Akulah saksi bisu kejadian yang sudah lampau berlalu. Mereka melakukan itu dihadapanku.
***
Di atasku, mereka berbincang hangat di pagi hari dan merangkum kegiatan pada malam hari.
“Sayang, yang ini saja! Sederhana tapi elegan. Cocok untuk rumah kita.”
Aku mendengar suara seorang wanita berbicara dengan seorang pria yang sedang melihat-lihat ke sekeliling ruangan toko perabotan rumah tangga. Dilihat dari gelagatnya, sepertinya mereka sepasang pengantin baru yang akan mengisi rumah mereka dengan perabotan rumah tangga. Pria yang berada beberapa senti di depan wanita itu kemudian menghampiriku.
“oh iya, ini bagus! Harganya juga pas. Oke, kita beli meja makan yang ini saja!” ucap pria itu. Mereka berdua kemudian pergi ke kasir, membayarku. Selepas itu, aku diangkut ke dalam mobil pick-up yang mengantarku menuju rumah mereka, bersama dengan keempat temanku. Ya, mereka memilihku! Aku, meja makan persegi berwarna coklat muda yang tidak begitu besar, dengan keempat kakiku yang menopang badanku dengan angkuh. Badan dan kakiku terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi dengan ukiran klasik yang manis. Keempat temanku, yaitu kursi-kursi yang akan mendampingiku juga dibuat dengan kayu jati yang sama sepertiku.
Mobil pick up yang membawaku berhenti. sepertinya sudah sampai. Pintu mobil di buka dan aku pun dikeluarkan dari dalam mobil. Di bawa melalui ruang tamu dan menuju ke arah ruang makan yang masih kosong, menghadap ke arah taman belakang rumah yang dibatasi jendela besar dan dua pilar kokoh penyangga bangunan. Di tengah terdapat pintu keluar ke arah taman, di atas pintu terdapat ventilasi yang terbuat dari kayu. Rumah yang indah. Sederhana tetapi nyaman. Aku suka rumah ini. Aku suka hawa kehangatan di dalam rumah ini. Teman-temanku sudah dirapihkan di keempat sisi badanku. Aku melihat pasangan itu sumringah melihatku ditata apik di dalam rumah mereka.
“Terima kasih ya sayang, kamu sudah membeli meja makan pilihanku.” Kata wanita itu kepada suaminya. Sang pria mengecup dahinya dengan hangat. Ah, romantis! Aku sangat senang berada di dalam rumah ini!
Setiap pagi, rumah ini membawa damai. Sang wanita memasak untuk sarapan suami tercinta. Masakan itu kemudian diletakkan di atas tubuhku yang kokoh. Nasi goreng yang berbau harum, lengkap dengan telur mata sapi dan susu coklat. Untuk mempercantik diriku, ia merentangkan taplak meja berwarna putih gading di tengah tubuhku dan ditindih oleh vas berwarna biru muda berisi bunga lily putih. Tiga puluh menit kemudian si Pria turun bergegas dengan pakaian yang rapi, siap-siap berangkat ke kantor. Ia merebahkan tas nya di kursi sisi kananku dan ia duduk di kursi kosong samping tas itu. Wanita datang membawa dua buah piring kaca berwarna putih, satu ditaruh di depan suaminya dan satu di taruh di depannya.
“pagi sayang! Ini sarapan untukmu. Makan yang banyak, biar kamu tidak lelah saat bekerja.” sapa Wanita itu kepada suaminya dengan wajah yang berseri.
“terima kasih, istriku, Anna Camelia. Aku akan menghabiskan ini tanpa sisa.” Sanjung sang Pria itu.
“sama-sama suamiku, Darmawan Agung.” Balas Anna.
Mereka pasangan pengantin baru yang begitu mesra. Puja-puji, kata-kata sanjungan dan tutur kata lembut nan manis selalu dilimpahkan diantara mereka. Aku pun ikut tersenyum lebar melihat kemesraan mereka berdua yang tidak ada habisnya.
Selesai sarapan, Agung membaca Koran, kemudian melipat dan memasukkannya ke dalam tas dan bergegas pergi ke kantor. Selesai mengantar suaminya ke depan pintu rumah, Anna balik ke hadapanku dan membereskan tubuhku dari piring-piring dan gelas yang tergeletak, serta membersihkanku dari remahan makanan yang jatuh dari tempatnya. Ia juga membereskan posisi ketiga temanku yang tadi dipakai. Kemudian ia pergi ke kamarnya. Ada sesuatu yang ia kerjakan di kamar. Ia menghampiriku saat siang hari, ketika makan siang dan ia pergi sebentar. Sore ia datang dan segera memasak untuk makan malam.
Saat makan malam tiba, mereka saling bercerita, biasanya soal kegiatan yang mereka lakukan selama seharian penuh. Agung, sang Pria yang bekerja sebagai salah satu karyawan perusahaan komunikasi terkenal menceritakan tentang kegiatan dan keadaan rekan-rekan di kantornya. Sedangkan Anna, sang Wanita, adalah seorang novelis. Aku ketahui ini waktu mendengar Anna bicara pada suaminya, bahwa ia sedang menulis novel lagi. Anna bicara panjang lebar, menceritakan karakter-karakter yang akan ia buat di dalam novel itu. Sebuah novel romantis yang berakhir tragis. Kejadian semacam ini selalu berulang setiap hari, senin sampai jumat. Sedangkan sabtu dan minggu, mereka pergi meninggalkan rumah. Bertamasya berdua atau makan malam di luar rumah.
Di atasku, mereka menginginkan sesuatu.
Perbincangan mereka pagi dan malam hari selama tiga bulan selanjutnya naik tahap. Anna dan Agung menginginkan seorang anak hadir diantara mereka berdua. Selama tiga bulan mereka mencoba, Tuhan belum memberikan tanda-tanda kepada mereka.
“Sayang, kalau diberi anak, kamu mau anakmu laki-laki atau perempuan?” tanya Anna.
“apapun yang diberikan Tuhan, pasti aku syukuri, Sayang. Laki-laki atau perempuan, yang penting kita berdua bisa membesarkan mereka dengan kasih sayang.”
Dua bulan kemudian, mereka masih belum di anugerahi seorang bayi oleh Tuhan. Hasil tes menunjukkan tanda negatif. Wajah Anna mulai pesimis, tetapi Agung selalu memberikan motivasi kepada Anna untuk selalu berusaha. Mereka pasangan yang tampak serasi. Sepanjang aku berada diantara mereka, mereka tidak pernah bertengkar. Mereka selalu memecahkan masalah dengan saling bicara, saling terbuka. Sungguh pasangan yang luar biasa.
Di atasku, ada kejadian tak terduga.
Lima tahun sudah berlalu. Mereka belum mempunyai buah hati. Mereka sudah berusaha pergi ke konseling pasangan, dokter kandungan hingga pengobatan alternatif agar mereka bisa mempunyai keturunan. Tetapi apa daya, Tuhan belum mengizinkan mereka mempunyai anak. Anna terus menyelesaikan novelnya dan Agung terus meraih karier yang baik. Novel Anna akhirnya terbit juga. Ia mulai sering pergi ke luar kota untuk mempromosikan bukunya. Agung juga semakin sibuk dengan pekerjaannya. Rumah menjadi jarang dihuni. Sapaan pagi hari sudah jarang terdengar. Bila malam tiba, Aku selalu merindukan perbincangan hangat kedua orang itu.
Aku dan teman-temanku ditinggal begitu saja. Debu sudah mulai menempel di atas lapisan kaca diriku. Sudah jarang aku dan teman-temanku diurus. Taplak meja warna putih mulai using. Bunga lily yang diletakkan di atas tubuhku sudah di buang begitu saja. Dapur pun sudah lama tidak mengeluarkan wangi masakan. Mereka mulai sibuk masing-masing. Penghujung bulan, mereka akhirnya mulai bertemu lagi.
“bagaimana penjualan novelmu, Anna?”
“yah, begitulah. Lumayan gara-gara promosi.” Jawab Anna, datar.
“besok aku mau ke luar kota lagi, dua hari. Ada seminar di Bangka.”
“Kamu semakin sibuk ya? Kita sudah jarang bertemu.”
Keluhan Anna disambut ramah oleh Agung. Ia berdiri dari kursi makan, menuju Anna dan mencium keningnya. Wajah Anna tetap saja biasa, tidak merespon dengan baik. Agung tidak menyadari itu. Kehidupan mereka mulai tak seindah lima tahun lalu waktu aku baru berada di sini. Aku rindu keadaan mereka pertama kali. Anna masih berusaha untuk mencintai Agung. Tetapi rasa cintanya semakin hambar. Sedangkan Agung, ia semakin jarang berada di rumah. Tetapi sebenarnya Agung masih mencintai Anna seperti pertama mereka menikah.
Hari ini, setelah sarapan pagi Agung bergegas berangkat ke luar kota. Sedangkan Anna membereskan tubuhku dan teman-temanku setelah sarapan usai.
“Anna, aku tinggalkan kamu lagi sendiri, ya? Kamu tidak apa-apa kan? Maaf ya sayang, aku jarang membagi waktu untukmu. Tetapi aku berjanji, setelah pulang kita akan jalan-jalan bersama.”
“Iya, sayang. Aku tidak apa-apa. Aku selalu merindukanmu.” Anna tersenyum dan mengantarkan Agung menuju mobilnya.
Agung sudah berangkat. Biasanya Anna akan segera masuk ke kamar sampai siang, baru ia kembali menghampiriku untuk makan. Kali ini berbeda. Ia tetap berada di luar kamar. Wajahnya terlihat resah. Ia bolak-balik dari ruang tamu ke ruang makan. Kemudian ia meraih telepon yang terletak di ruang makan, menelpon seseorang.
“kamu jadi ke sini, hari ini?”
“jam berapa?”
“Oke, aku tunggu! Aku siapkan makan siang untuk mu ya?”
“byee…”
Anna menutup teleponnya. Ia segera memasak makanan siap saji dan dihidangkan di atas tubuhku. Siapa yang mau datang kemari? Wajah Anna terlihat sumringah tetapi sedikit cemas. Ia sedang menyembunyikan sesuatu.
Lima belas menit kemudian. Anna membuka pintu dan mempersilahkan seseorang masuk ke dalam rumah. Caranya ia mempersilahkan masuk berbeda dari tamu-tamu lain. Ia mengecup bibir orang itu. Seorang lelaki. Tetapi bukan Agung. Siapa dia?
Anna menggiring lelaki itu menuju ke arahku. Siapa dia? Anna sepertinya sudah sangat akrab dengan lelaki itu. Lelaki itu masih asing di mataku. Sebelumnya Anna memang tidak pernah mengajak lelaki lain datang ke rumahnya. Baru kali ini aku melihat Anna mengundang seorang lelaki datang kemari. Mereka saling bercengkerama, mesra sekali. Sesekali lelaki itu memegang tangan Anna.
“Biasanya suamimu pulang kantor jam berapa?” tanya lelaki itu.
“Ia sedang ke luar kota. dua hari lagi ia baru pulang. Kalau kamu mau, kamu menginap saja di sini. Temani aku.”
Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Anna. Mereka sempat terdiam, tetapi kembali mencoba memecah keheningan. Mereka saling tertawa, berbalas pandang dan saling merayu. Selesai makan, Anna membereskan piring-piring kotor dari tubuhku dan membawanya ke dapur. Lelaki itu masih duduk di sampingku. Aku gerah. Kenapa lelaki ini ada di sini? Ia bisa mengacaukan hubungan rumah tangga Anna dan Agung. Anna kembali datang menghampiriku, mengelap badanku. Tiba-tiba lelaki itu berdiri di belakangnya dan mendekap Anna. Anna membalikkan badannya dan menghadap lelaki itu. Mereka saling berciuman. Berciuman mesra dan saling melumat. Tangan kanan Anna yang sedang membawa lap, sengaja ia jatuhkan itu di lantai dekat kakiku. Tangan lelaki itu mulai bergerak leluasa di atas tubuh Anna. Lelaki itu menciumi tengkuk Anna, lalu mulai berbuat lebih dari itu. Mereka bercumbu di atas tubuhku. Mereka saling melepas baju di atas tubuhku, saling mendesah. Mereka melakukan semuanya di atas tubuhku! Aku terperangah. Mereka berdua, orgasme di atas tubuhku! Aku merasa sangat risih.
Selesai semuanya. Mereka dengan segera memakai kembali pakaian mereka yang sudah terlempar. Merapihkan dan seolah semua beres. Lelaki itu segera pulang dan Anna tidak bisa menahannya.
“kenapa kamu terburu-buru pulang? Kamu tidak jadi menginap?”
“Ah iya, sayang, maaf, aku lupa aku masih ada urusan dengan kantor. Aku harus kembali ke kantor. Maaf. Kapan-kapan kalau suamimu keluar kota lagi, panggil saja aku. Atau, kita bisa bertemu diluar. Love you!”
Anna mengantarnya sampai pintu keluar dan datang lagi menghampiriku. Ia membereskan tubuhku kembali dengan wajah kecewa. Ia tentu berharap, lelaki itu tidak pergi, seharusnya lelaki itu mau menemaninya malam ini.
Sejak kejadian itu, aku jadi semakin sering melihat lelaki itu datang. Tiap sudut rumah ini adalah saksi perselingkuhan itu. Lelaki itu seperti menjadikan Anna sebagai eksperimen dalam bercinta. Entah Anna tahu itu atau tidak, ia terlihat menikmatinya. Sedangkan hubungannya dengan Agung terlihat semakin datar.
Di atasku, segalanya berakhir.
Kehidupan mereka dingin, semenjak mengetahui bahwa Agung mandul. Anna masih tetap berusaha menyayangi suaminya, tetapi disisi lain ia semakin sering melampiaskan hasratnya untuk selalu berhubungan dengan lelaki yang biasa datang ke rumahnya itu. Pagi hari Anna sudah terbangun, sedangkan Agung masih tertidur pulas. Dari kemarin ia memang mengeluh mual dan pusing. Setiap pagi ia selalu muntah. Setiap Agung bertanya, ia selalu menjawab tidak enak badan.
“sayang, ke dokter ya? Aku antar kamu. Hari ini aku izin tidak ke kantor. Ya?”
“Eh? Tidak usah, sayang. Nanti siang aku sendiri saja yang pergi ke dokter, kalau perlu. Kalau tidak juga tidak apa-apa. Sepertinya hanya masuk angin.” Jawab Anna.
Agung tidak mau memaksa istrinya. Ia kemudian pergi ke kantor tanpa ada rasa curiga. Anna menyembunyikan sesuatu dari Agung. Seharian, dengan wajah pucat dan cemas Anna masih duduk di sampingku. Wajahnya gusar. Hari ini, lelaki itu tidak datang. Anna mengambil sesuatu dari kantong piyamanya. Testpack. Ia kemudian melihat alat tes itu dengan mata nanar.
“seharusnya aku senang melihat tanda yang tertera di testpack ini. Tetapi, bagaimana aku bisa menceritakan semua ini kepada Agung?” Anna bergumam sendiri. Ia menggigiti jarinya, wajahnya kalut. Ia mengambil korek api dari dapur dan segera membakar testpack tersebut kemudian berlari ke dalam kamar. Sekitar tiga jam ia berada di kamar. Ia bergegas keluar dengan wajah sembab. Mengambil salah satu temanku dan membawanya ke dekat pilar yang menyangga ventilasi kayu di ruangan yang menghubungkan antara ruang makan dengan taman belakang. Pilar itu sangat tinggi. Rumah ini memang mempunyai langit-langit yang tinggi. Tiba-tiba Anna mengibaskan sesuatu ke arah ventilasi itu. Aku bisa melihatnya dengan jelas, selendang berwarna hitam digulung dan ia ikat erat-erat. Selang beberapa detik, Anna naik ke atas tubuh temanku, menendang temanku, detik berikutnya, tubuh Anna tergantung lunglai, meregang nyawa.
Sore tiba, Agung masuk ke dalam rumah. Aku tidak bisa mengatakan sesuatu. Aku ingin berteriak, menceritakan semuanya kepada Agung. Agung shock melihat istrinya tergantung tak bernyawa. Tak bisa berteriak, tak bisa menangis. Perlahan Ia turunkan tubuh istrinya yang sangat ia cintai itu. Mengusap lembut rambutnya, mencengkeram erat tubuhnya dan menutup matanya yang terbelalak. Agung tampak sangat kalut, ia tidak bisa mengerti kenapa Anna melakukan ini. Sampai akhirnya hasil otopsi mengantarkannya pada kenyataan bahwa istrinya tengah hamil. Siapa lelaki keparat itu, Agung tidak akan pernah tahu. Mungkin Ia memilih untuk tidak tahu.
Berhari-hari lamanya Agung mengisi harinya dengan tatapan mata yang kosong. Pada suatu sore yang mendung, tidak terlalu lama setelah kejadian menyedihkan itu, Agung pergi meninggalkan rumah ini, begitu saja ia pergi.
Sore yang mendung itu adalah kali terakhir aku melihat wajah Agung.
No comments