Film My sister’s keeper mengingatkan kembali ke masa itu.


Hari ini adalah hari minggu yang cerah di pertengahan bulan Februari dan tidak seperti biasa karena dari kemarin cuaca tidak menentu dan hujan selalu datang dan pergi. Telat sepertinya untuk saya baru menonton film My Sister’s keeper sekarang-sekarang ini. Film yang dibintangi oleh aktris terkenal Cameron Diaz yang menceritakan tentang keluarganya dan salah satu anaknya yang mengidap penyakit kanker darah atau Leukimia.
Film ini mengundang haru, dimana anaknya yang terakhir, yaitu Anna ternyata dilahirkan dengan perencanaan untuk membantu kakaknya, Kate yang terkena kanker. Anna merasa bahwa organ tubuhnya tidak merdeka karena orang tuanya menginginkan bagian tubuh dia untuk didonorkan kepada kakaknya. Tubuhnya didonorkan sejak ia berumur 5 tahun, dan ketika ia menginjak umur 12 tahun, ia harus mendonorkan ginjalnya untuk Kate karena ia gagal ginjal.
Perjalanan hidup Kate dan seluruh keluarganya diceritakan dengan penuh alur maju mundur. Kisah mengenai orang tuanya, kakak laki-lakinya yang bernama Jeese yang ternyata mengidap dyslexic yaitu anak yang lambat dalam membaca dan menulis atau sering tertukar kata-kata yang ia katakan dan mengenai kehidupan percintaannya dengan Taylor yang sama-sama mengidap penyakit kanker. Semua alur cerita kehidupannya membuat saya pribadi larut ke dalam penderitaan dan suka citanya dimana keluarga terdekatnya sangat memberikan support untuk tetap bertahan. Belum lagi masalah ibunya yang menginginkan agar ia tetap hidup bagaimanapun caranya sampai mencoba untuk merelakan Anna, adiknya Kate dan mengenyampingkan segala keinginan yang diinginkan oleh Kate, setelah ia tahu kekasihnya sudah ‘pergi’ terlebih dahulu. Dalam film itu, Kate sendiri juga tidak pernah merasa dirinya menderita karena kanker yang ia idap. Ia selalu ceria dan selalu berusaha untuk menjadi kakak yang baik untuk adiknya. Film ini saya beri empat jempol (dengan dua ibu jari kaki saya).

Untuk saya, tidak hanya kisahnya yang membuat saya terharu, tetapi pikiran saya mengulang kenangan hampir setahun yang lalu. Saya mempunyai kakak ipar yang mengidap penyakit kanker otak yang sudah menjalar ke paru-paru. Sudah kurang lebih 5 rumah sakit di Jakarta ia datangi, tetapi tidak ada yang bisa menolong kesembuhannya. Awalnya, dokter di rumah sakit pertama kali ia kunjungi (sebut saja rumah sakit A), menyatakan bahwa penyakit yang ia derita adalah penyakit toksoplasma yang menyerang otak dan paru-paru. Dokter memvonis seperti itu karena melihat ada kelenjar kental yang menyumbat otak dan paru-parunya. Setelah ia dirawat selama seminggu di rumah sakit itu, penyakitnya tak kunjung sembuh dan  suami yang juga kakak saya membawanya ke rumah sakit lain yaitu rumah sakit B, rumah sakit yang lumayan terkenal dan selalu menangani pejabat-pejabat pemerintahan.
Kakak ipar saya sudah mempunyai anak perempuan yang pada waktu itu masih berumur sekitar 9 bulan dan selama kakak ipar saya di rumah sakit yang menjaga anaknya yaitu ibu saya sendiri. Ketika kakak ipar saya berada di rumah sakit B, barulah ketahuan penyakit apa yang ia idap. Dokter mengatakan bahwa penyakit yang ia derita yaitu penyakit kanker otak yang telah menjalar ke paru-paru, tetapi selain itu terdapat kelenjar yang berada di dalam otak dan paru-parunya. Ketika di rumah sakit tersebut, saya tidak tega melihatnya. Selang ada dimana-mana, jarum suntik dan infus ada di kedua nadi tangan maupun di seluruh badan. Tapi aku senang melihat dirinya, walaupun ia tahu penyakit apa yang ia derita, ia masih selalu tertawa dan mencoba untuk tidak merasakan sakit yang ia derita. Raut wajahnya membuat saya sedih, mengenang penderitaan-penderitaannya sebelum ia sakit.

Setelah sekitar hampir dua minggu kakak ipar saya berada di rumah sakit B, dokter di rumah sakit B mencoba untuk melakukan operasi penyedotan kelenjar di dalam paru-paru  dan bukan operasi di otak karena kanker maupun kelenjar yang ada didalam otaknya berada di tempat yang sangat vital. Dari keluarga masih belum setuju untuk melakukan itu. Kami takut apa yang akan terjadi nanti ternyata semakin membuatnya parah. Kami sekeluarga mencoba untuk memikirkan jalan keluar yang terbaik. Setelah diberitahu dokter bagaimana operasional operasi ini dilakukan, kami sekeluarga bimbang dan mempertimbangkan lagi. Sampai akhirnya keluarga setuju untuk melakukan operasi pengambilan kelenjar di dalam paru-parunya.
Setelah kami sekeluarga menyatakan siap, ternyata dokter mundur dan saya tidak mengetahui pasti alasannya karena pada saat itu saya sedang sibuk dengan urusan perkuliahan saya. Saya hanya diberitahu secara garis besar saja. Saya pernah mengusulkan untuk membawa kakak ipar saya ke rumah sakit pemerintah terkenal yang sekarang sedang menjadi tempat praktikum saya atau rumah sakit kanker di Jakarta Barat. Tetapi entah kenapa tidak ada yang mau mendengar omongan saya.
Walaupun jarang mengunjungi kakak ipar saya karena pada saat itu berada di kost-an, ketika saya mengunjungi dirinya, saya tidak pernah melihat wajah yang muram di raut wajahnya. Ia selalu menampakkan wajah yang optimis dan ceria. Ia malahan masih saja suka mendengar curhat mengenai kehidupan saya selama kuliah. Ia kakak ipar saya tetapi ia seperti kakak  sendiri.
Setelah terlihat kesehatannya pulih, ia dibawa pulang dan bed rest di rumah. Perbedaan mulai terlihat. Dahulu, badannya sangat sempurna dari tinggi hingga beratnya. Ia bagaikan peragawati dan saya suka dia. Rambutnya hitam lurus dan panjang. Sekarang, wajahnya terlihat gembil, bukan berarti ia menggemuk tetapi karena asupan obat-obatan yang harus ia minum setiap harinya membuat badannya membengkak dan agak lebam. Rambutnya pun mulai rontok dan agak botak.
Suatu saat sakitnya kumat lagi dan ia di bawa ke rumah sakit terdekat yaitu di daerah Serpong dan rumah sakit itu pernah menjadi kasus yang banyak di bahas oleh masyarakat awam. Pada saat kakak ipar saya berada di sana, ia mengatakan bahwa otaknya harus di operasi untuk pengangkatan kelenjar yang bersarang di otaknya sekaligus kanker. Kami semua kaget, apakah tidak ada jalan terbaik selain mengoperasi otak? Karena di rumah sakit sebelumnya pun mereka tidak berani melakukan operasi di otaknya, walaupun kedua organ yang disarangi penyakit ganas itu keduanya adalah organ yang sangat vital.
Kakak saya tidak menginginkan adanya operasi. Entah kenapa akhirnya kakak saya memindahkan kakak ipar saya di rumah sakit yang letaknya masih di daerah serpong tetapi di dalam BSD. Dan rumah sakit itu menjadi rumah sakit terakhir. Setelah berkali-kali keluarga saya tidak menginginkan adanya operasi, di rumah sakit terakhir kakak ipar saya ternyata harus operasi juga. Saya menyesal, sebelum kakak saya dioperasi, saya tidak menyempatkan waktu saya untuk mengunjunginya karena kesibukan saya di kampus. Setelah operasi, kakak ipar saya sempat tidak sadarkan diri dan dimasukkan ke ruang ICU. Secara kebetulan pula, di saat-saat seperti itu, penyakit ginjal ayah saya kumat dan ayah saya pun di rawat di rumah sakit yang sama dan di kamar yang tidak jauh dari kamar sebelum kakak ipar saya masuk ICU. Di saat itulah saya mau tidak mau mengenyampingkan urusan kuliah dan mencoba untuk menjaga ayah saya sekaligus menjaga kakak ipar saya. Jujur, saya tidak tega melihat keadaan kakak ipar saya yang terdapat selang dimana-mana dan bernafas melalui pipa yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Di samping itu, keadaan ayah saya yang tidak bisa apa-apa membuat saya cemas dan bingung.
Beberapa hari kemudian kakak ipar saya siuman, tetapi apa yang terjadi setelah ia siuman? Ia tidak bisa melihat, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya dengan kata lain ia lumpuh total. Bahkan pasca operasi, ia pun tidak bisa makan dengan baik. Sangat mengenaskan melihatnya. Setiap ia berusaha untuk bicara, ia hanya bisa memukul-mukul orang yang ada di sampingnya, dan berteriak. Kondisi ayah saya pun tak kunjung pulih. Keluarga saya bingung dengan keadaan ini, tetapi keluarga saya tetap tabah menghadapi segala musibah yang sedang keluarga kami hadapi.
Sampai pada suatu hari, keadaan ayah saya berangsur-angsur pulih tetapi kenyataan lain yaitu kakak ipar saya sudah tidak dapat diselamatkan lagi. Kami sekeluarga ikhlas dan tabah dalam menghadapi kenyataan ini, walaupun kami teramat sangat sedih. Saya pribadi yang teramat sangat menyesal, ketika kakak ipar saya masih hidup saya jarang mengunjunginya. Padahal kata Ibu saya, ia menanyakan terus bagaimana keadaan saya tetapi saya belum sempat menjenguknya. Penyesalan hanya berakhir sia-sia, tetapi saya tetap selalu mendoakannya semoga ia diterima disisiNya. Dialah kakak ipar saya yang paling saya sayang, karena saya tahu bagaimana penderitaannya selama ia masih hidup dari awal sampai akhir, tetapi ia tidak pernah mengeluh dan selalu tersenyum bahagia. Selamat jalan, Kak, saya selalu mendoakanmu...

No comments