BUKAN JEMURAN BIASA


 
Maling Teriak Maling
Kegiatan jemur–menjemur pakaian memang kegiatan yang biasa dilakukan oleh masayrakat, khususnya yang sering dilihat yaitu masyarakat Indonesia. Sepertinya kegiatan itu sudah menjadi salah satu bagian budaya yang tersirat yang dilakukan oleh masyarakat. Mungkin hal tersebut terjadi dikarenakan keadaan iklim di Indonesia yang panas, sehingga baik untuk mengeringkan jemuran. Ternyata hal ini sangat menarik perhatian si “Maling jemuran”. Tetapi dalam hal ini, si maling sama sekali tidak mengambil pakaian dalam maupun salah satu pakaian yang sedang di jemur. Lantas apa yang dia ambil sedangkan jemuran yang digantung masih utuh?
Maling jemuran merupakan suatu pameran fotografi yang diadakan di dua tempat dengan waktu berbeda. Tempat pertama diadakan di Japan Foundation bulan Desember 2009 dan yang kedua diadakan di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA, dari tanggal 8 sampai tanggal 15 Januari 2010. Tema Maling Jemuran diangkat oleh sang fotografer karena banyak hal yang menarik yang dapat dilihat dari jemuran. Jemuran tidak sekadar jemuran, karena ternyata ada banyak hal yang tersirat melalui jemuran karena dari situlah dapat menceritakan si pemilik jemuran dari berbagai aspek.
“Ide maling jemuran sebenarnya bukan berarti saya memotret obyek foto seorang maling sedang nyolong jemuran, tetapi maksudnya ini adalah sebuah olokan kepada saya sendiri karena saya yang seringkali ‘memalingi’ jemuran orang lain dengan memotretnya tanpa permisi”, ujar Aiko Urfia Rakhmi (32) si ‘maling jemuran’ ketika bertemu di tempat pamerannya, GFJ ANTARA pekan lalu. Selain itu ia mengatakan bahwa jemuran sebagai bagian dari hidup keseharian masyarakat lumrah ditemukan dimana-mana. Mulai dari kota sampai ke pinggiran, milik si kaya maupun si miskin, tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan dan jemuran­–pun tak jarang menjadi sebuah ‘pertunjukkan instalasi’ yang unik karena setiap jemuran mempunyai karakteristik masing-masing.
-->
Pengakuan si Maling Jemuran
Aiko Urfia Rakhmi, seorang wanita kelahiran Tokyo tiga puluh dua tahun yang lalu memaparkan awal pembentukan pameran fotografi tunggal yang diadakannya, “awalnya sih saya ragu-ragu untuk mengadakan pameran, tetapi karena saya di dorong oleh dosen saya sekaligus untuk Tugas Akhir kuliah saya di IKJ (Institut Kesenian Jakarta), saya nekad untuk membuat suatu pameran tunggal dan hasilnya lumayan juga banyak yang datang”.
Ketika ditanya kamera apa yang ia pakai untuk mengambil gambar-gambar yang sangat menarik, unik dan ekspresif tersebut, ia kemudian menunjukkan kamera yang sedang ia selempangkan di pundaknya dan ternyata bukanlah SLR canggih yang ia pakai, hanya kamera Powershot semi SLR yang simple yang selalu ia bawa kemana-mana untuk ‘menembak’ sasarannya. “Saya hanya memakai kamera ini!” tukasnya, “walaupun terkadang saya memakai SLR juga, tapi rasanya lebih nyaman saja kalau hunting memakai kamera ini karena tidak berat dan repot.”
Aiko sangat mencintai dunia digital. Menurutnya, kamera apapun yang dipakai tidaklah masalah, yang penting ide kreatif yang timbul dari pemikiran si fotografer, ditambah sedikit polesan di Photoshop (yang katanya, aplikasi tersebut merupakan kamar gelapnya) maka voila! Jadilah karya yang luar biasa. Mencari angle yang tepat dalam memotret juga merupakan hasil karya yang sangat luar biasa, “yang penting ada niat, kenekatan dan ide yang kreatif. Kalau hanya sekedar memotret dan memiliki kamera yang mahal mungkin sekarang banyak orang yang mampu, tetapi untuk memiliki ide yang ‘gila’ ataupun unik sangatlah sulit”.

No comments